Jumat, 30 Mei 2008

KHOBAR AHAD DALAM AQIDAH

Syariah Publications. Tulisan ini bicara tentang sebuah pernyataan yang berbunyi “khobar ahad tidak menjadi hujjah dalam perkara-perkara aqidah” yang terdapat dalam buku Asy-Syakhshiyah Al Islamiyah juz I karya Taqiyyuddiin An Nabhaaniy rahimahullaah. Kami terdorong untuk membahas permasalahan ini karena sepenggal pernyataan di atas sering dicomot begitu saja tanpa menyertakan penjelasan yang memadai dari penulisnya. Padahal beliau menulis dua bab tersendiri untuk mempertanggungjawabkan pernyataan tersebut. Kemudian -setelah dicomot- sepotong kalimat itu diangkat dan disyarah sekehendak hati oleh orang yang berkeinginan untuk menyerang, mendiskreditkan, membodoh-bodohkan, dan menyesat-nyesatkan penulisnya. Seringkali serangan mereka tidak berpijak pada apa yang sebenarnya dimaksud oleh penulis. Akibatnya muncul tuduhan-tuduhan yang tidak semestinya terlontarkan. Seperti pernyataan seseorang “Taqiyudiin melarang pengikutnya untuk mempercayai apa yang ditunjukkan oleh hadits ahad”. Pernyataan yang berbentuk mutlak tanpa embel-embel dan penjelasan ini sama sekali tidak benar, dan itu akan menjadi suatu perkara besar di pengadilan Allah kelak, yaitu saat siapa saja yang terdzolimi oleh lisan seseorang, maka ia akan mendapat keadilan. Dan kami akan menjadi salah seorang di antara ribuan orang yang akan menuntut keadilan dalam perkara ini. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika masalah ini kita selesaikan di dunia saja. Wallaahu Musta’an.

Bukan Pernyataan Baru Yang “Nyleneh”.

Siapa saja yang tersentak, terheran-heran, bergeleng-geleng kepala ketika mendengar pernyataan bahwa hadits ahad tidak dijadikan hujjah dalam perkara aqidah, maka dapat dipastikan bahwa ia belum berinteraksi dengan khasanah keilmuan islam mengenai masalah ini, meski hanya sedikit. Terlepas dari setuju atau tidak dengan pernyataan itu, siapa saja yang akrab dengan tsaqofah islam, mengikuti perbincangan para ulama dalam bidang ushuluddiin, ushul fiqh mau pun hadits, dia akan menemukan berbagai pernyataan dan polemik seputar masalah ini, mulai dari apa faedah yang didatangkan oleh hadits ahad, sampai dalam masalah apa dibolehkan untuk ber-istid-laal (berdalil) dengan hadits ahad. Dia akan menemukan nama ulama -yang sehari-hari namanya kita sebut- memiliki pendapat yang sama dengan Taqiyyudiin -seperti Hujjatul Islaam Abu hamid Al Ghozali, Al Amidi, Al Bazdawi, As Sam’aani, Al Qosimi sampai ulama kontemporer seperti syaik Al Azhaar Mahmud Syaltut, Sayid Qutb, Dr. Muhammad Al Ghozali, Dr. Said Ramadlon Al Buthi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Kholaf, dll. Sebagaimana dia juga akan menemukan ulama besar yang menentang pernyataan itu -seperti Syaikhul Islaam, Taqiyyuddiin Ibn Taimiyah, syaikh madzhab dhohiri Ibnu Hazm, As Suyuti, Ibnu Hajjar sampai Nashiruddiin Al Albani. Semoga Allah merahmati mereka semua. Dengan kemampuan seadanya, kami baru bisa menyentuhkan satu ujung jari ke kulit terluar dari lautan ilmu yang luas itu. Yang dengan kelemahan itu kami bertambah cinta kepada para ulama dan bertambah kecil di hadapan Allah Ta’alaa. Tapi alhamdulillaah -dengan karunia yang diberikan Allah- kami bisa merasakan betapa para ulama telah memberi perhatian serius terhadap masalah ini. Dan karena kehendak Allah, melalui ilmu yang mereka uraikan, kita bisa berusaha menentukan sikap dalam masalah pelik yang mereka perdebatkan ini. Allah memberikan pertolongan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, maka hanya kepadaNyalah kita minta pertolongan.

Perkara-perkara Aqidah Yang Dimaksud Oleh Taqiyyuddiin

Sebelum lebih jauh mengurai tentang permasalahan hadits ahad dalam aqidah, kepada siapa saja kita hendak bicara, terlebih dahulu harus dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan “perkara-perkara aqidah” (aqooid) dalam pernyataan Taqiyuddiin. Tentu saja untuk itu kita harus merujuk pada apa yang dimaksud oleh si pembuat pernyataan. Dengan begitu, tidak terjadi respon yang salah dikarenakan perbedaan persepsi mengenai apa yang dimaksud dengan “perkara aqidah” dalam pernyataan itu.

Perlu kita tegaskan bahwa istilah aqidah yang kita bicarakan di sini merupakan istilah yang dibuat dan digunakan oleh para ulama ushulud diin. Istilah ini tidak memiliki makna syar’i, tidak seperti kata sholaah, zakaah, jihaad, haj, wudluu’, tayammum, islam, dll. Kata-kata yang disebut terakhir telah digunakan oleh Allah dan rasulNya di dalam Al Qur’an dan hadits dengan pengertian baru (syar’i) yang kita harus terikat dengan pengertian tersebut.

Pembentukan makna aqidah dalam disiplin ushulud diin sama seperti pembentukan pengertian al hadits dalam disiplin ilmu hadits. Al hadits tidak memiliki makna syar’i. Secara bahasa artinya antara lain adalah “pembicaraan” atau “sesuatu yang baru”. Tapi para muhaditsuun rahimahumullaahu membuat kata al hadits memiliki pengertian khusus di dalam disiplin ilmu yang mereka mereka geluti, yaitu sebagai segala macam khobar yang memberitakan tentang kisah kehidupan, perbuatan, perkataan, taqriir, dan sifat-sifat penciptaan (fisik) nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari mana pengertian al hadits seperti ini muncul? Tentu saja ini hanya istilah yang dibuat oleh para muhaditsuun rahimahumullaahu.

Jika kita berpindah ke disiplin ilmu ushul fiqh, maka akan dapati para ahli ushul fiqh menggunakan istilah al hadits dengan pengertian yang berbeda. Al Hadits dalam ushul fiqh merupakan salah satu sumber hukum syara’. Dalam disiplin yang mereka geluti, al hadits adalah segala informasi mengenai perbuatan, perkataan dan taqriir nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama, sementara sifat fisik nabi ‘alaihish-sholaatu was-salaam tidak termasuk dalam pengertian hadits -dalam disiplin ushul fiqh, sebab sifat fisik nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam bukan merupakan sumber hukum syara’.

Perbedaan penggunaan istilah dalam disiplin ilmu yang berbeda sebenarnya bukanlah sebuah perbedaan. Ini seperti kata “shooting” yang sering kita dengar. Jika kata shooting digunakan oleh tentara dalam peperangan, maka artinya adalah menembak; jika digunakan oleh pemain bola di lapangan, maka artinya adalah menendang ke arah gawang; jika digunakan oleh fotografer atau kamerawan, maka artinya adalah mengambil gambar. Dengan demikian, jika kita hendak memahami sebuah istilah yang digunakan oleh seseorang dalam pernyataannya, maka kita harus mengacu pada pengertian atau fakta yang dimaksud oleh si pembuat pernyataan. Artinya, kita tidak bisa mengartikan sebuah istilah yang digunakan oleh orang lain dengan imajenasi kita sendiri.

Kalau kita cermati tulisan Taqiyuddiin dalam Asy-syakhshiyah I dengan seksama, dapat disimpulkan bahwa permasalahan aqidah yang beliau maksud dalam pernyataan di atas adalah hal-hal yang wajib diimani oleh seorang muslim -yang mana apabila seseorang tidak mengimani salah satu dari permasalahan aqidah tersebut maka dirinya tidak dapat disebut sebagai seorang muslim. Keimanan pada hal-hal yang tergolong “wajib untuk diimani” yang memberi batas tegas antara iman dan kufur itulah yang disebut oleh Taqiyyuddiin sebagai aqidah. Untuk menjelaskannya, kita akan mendifinisikan kata iman terlebih dahulu.

Apa pengertian iman yang dimaksud oleh penulis di sini? Iman yang dimaksud oleh penulis -yakni An Nabhaaniy- adalah “pembenaran/pengakuan (terhadap suatu hal) yang bersifat pasti, sesuai dengan fakta dan didasarkan atas bukti” (tashdiiqul jazm almuthobaqu lil waqii’i ‘an daliilin). Definisi iman ini dirumuskan berdasarkan fakta iman itu sendiri. Ini adalah definisi iman menurut ushuliyuun, bukan ahli bahasa mau pun muhaditsuun. Istilah ini mungkin memiliki pengertian yang berbeda jika diucapkan oleh kalangan muhaditsuun atau lughuun -ahli bahasa. Para ahli hadits misalnya, mereka mengatakan bahwa imaan itu bukan sekedar pembenaran pasti di dalam hati, tapi juga mencakup pengikraran secara lisan, dan pengamalan dalam perbuatan. Mereka mengatakan bahwa iman itu bercabang-cabang, ada yang apa bila diingkari menyebabkan kekafiran, tapi ada cabang iman yang bila diingkari tidak menyebabkan kafir, hanya menyebabkan dosa. Mereka juga mengatakan bahwa iman itu ada yang kuat dan ada yang lemah. Iman yang lemah bisa menguat dan iman yang kuat bisa melemah. Iman bisa diperkuat dengan ketaatan dan bisa diperlemah dengan kemaksiatan. Manusia bertingkat-tingkat dalam beriman, dan para nabi ‘alaihimus-salaam adalah manusia yang memiliki tingkatan iman tertinggi. Sementara Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu merupakan manusia yang paling tinggi imannya setelah para nabi ‘alaihimus-salaam. Begitulah pendapat sebagian besar ahli hadits. Hal itu dirumuskan berdasarkan kata iman yang digunakan oleh nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak sabda beliau. Sebagian dari mereka mengatakan, barang siapa yang menolak hal-hal di atas, maka mereka bukan ahlu sunah, mereka adalah Khowarij -kelompok ekstrim yang menyatakan bahwa orang yang bermaksiyat adalah orang yang tidak beriman- atau Murji’ah -kelompok ekstrim yang mengatakan bahwa kemaksiyatan tidak berhubungan dengan keimanan dan tidak mengurangi iman, sebagaimana mengamalkan ketaatan tidak akan menambah iman bagi orang kafir, sebab iman sekedar keyakinan.

Kenapa ahli ushul dan ahli hadits berbeda dalam mengidentifikasi masalah keimanan? Menurut kami penyebabnya bukan perbedaan madzhab, melainkan perbedaan konsentrasi disiplin ilmu yang mereka geluti. Muhaditsuun lebih berkonsentrasi untuk menjaga lafadz-lafadz yang digunakan oleh rasuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits. Sedangkan para ushuliyuun lebih berkonsentrasi pada aspek praktis dari istilah iman itu sendiri. Para ahli ushul menggunakan istilah “iman” untuk mengidentifikasi “faktor pembatas antara keislaman dan kekufuran” yang tidak lain adalah aspek pembenaran atau keyakinan terhadap masalah-masalah ushuluddiin. Sedangkan masalah ikrar dan amal tidak mereka masukkan dalam pengertian iman, tapi mereka anggap sebagai konsekuensi, tanda, dan dampak dari keimanan. Masalah kualitas kuat-lemahnya iman mereka anggap sebagai kuat-lemahnya pengaruh iman tatkala seseorang menjalankan berbagai aktivitas dalam kehidupannya (idrak shilatu billaah). Kemaksiatan mengurangi iman artinya mengurangi hubungan hamba dengan Allah, dan ketaatan menambah iman artinya menambah hubungan hamba dengan Allah. Bagi kami, pendapat sebagian besar ushuliyuun adalah yang lebih tepat. Beriman dengan keberadaan jin, iblis, dan malaikat adalah pengetahuan dan pembenaran secara pasti saja. Orang beriman harus mengatakan “kami percaya sepenuhnya dengan keberadaan jin”, perkataan ini adalah konsekuensi dari iman, bukan iman itu sendiri.

Tapi yang jelas, para ulama yang berpendapat bahwa iman adalah tashdiq, ikrar, dan amal tidak mengkafirkan orang yang mengamalkan kemaksiyatan, sekali pun maksiyat yang termasuk dosa besar, seperti zina dan riba misalnya. Artinya, mereka tidak menjadikan amal sebagai masalah keimanan dalam pengertian yang digunakan ulama ushuluddiin. Sedangkan amal yang berupa kewajiban-kewajiban dan nawaafil (nafilah-nafilah) tidak pula dianggap remeh oleh ushuliyuun, hal ini sesuai dengan harapan ahli hadits. Jadi jelas, perbedaan di antara mereka sebenarnya bukan perbedaan yang hakiki, ini hanya perbedaan dalam pengistilahan, sedang dalam prakteknya mereka tidak berbeda. Kita tidak berharap karena hanya berbeda dalam mengaplikasikan sebuah kata, kaum muslim harus saling membi’ahkan satu dengan yang lain.

Karena kita sakarang sedang bicara masalah aqidah, maka kita akan menggunakan istilah iman dalam pengertian yang digunakan oleh ulama ushulud diin. Allah berfirman dalam Ash-Shof : “Tu’minuuna billaahi wa rasuulihi”- kalian beriman kepada Allah dan (kepada) rasulNya-. Jika kita aplikasikan definisi imaan menurut ushuliyuun, maka beriman kepada Allah di sini adalah “membenarkan secara pasti tentang kenyataan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilaah -berdasarkan bukti yang pasti”; dan beriman kepada rasulNya adalah “membenarkan secara pasti bahwa Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan seorang rasul Allah berdasarkan dalil yang pasti”.

Yang perlu dijelaskan adalah:

Yang dimaksud dengan “pembenaran secara pasti” adalah pembenaran yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. Dengan kata lain, sebuah keyakinan yang tidak mengandung kemungkinan/peluang salah walau hanya 1%. Maka batasan ini mengecualikan pembenaran yang tidak bersifat jazm/pasti dari lingkup pengertian iman, seperti pembenaran-kuat (gholabatudz-dzon). Jadi sekedar pembenaran-kuat yang tidak jazm tidak bisa disebut iman.

Yang dimaksud “sesuai dengan fakta” adalah pembenaran tersebut memang sesuai dengan realitas, bukan keyakinan yang membabi-buta. Sebuah keyakinan dikatakan benar tatkala keyakinan itu memang sesuai dengan realitas.

Maksud dari “berdasarkan bukti” adalah bukti yang menunjukkan bahwa keyakinan itu memang sesuai dengan realitas. Pembenaran merupakan dampak dari pengetahuan. Jika kita mengetahui bahwa realitas bumi itu bulat, maka kita akan membenarkan bahwa bumi itu bulat. Dan pengetahuan manusia terhadap realitas itu didapat melalui bukti. Jika kita tidak mendapatkan bukti apa pun yang menunjukkan bahwa bumi itu bulat, maka kita tidak akan pernah tahu bahwa bumi itu bulat -seperti manusia pada masa lalu. Tapi adanya perjalanan mengitari bumi membuat orang tahu secara pasti bahwa bumi itu bulat.

Bukti (dalil) bisa berupa aqli mau pun naqli -tergantung objek yang dibahas. Jika objek yang diahas adalah realitas yang empirik, indrawi, atau yang berhubungan pasti dengan hal-hal empirik, maka dalilnya ‘aqli. Seperti keberadaan manusia, alam semesta, dan kehidupan sebagai makhluq ciptaan Al Kholiq; kenyataan bahwa Muhammad ‘alaihisholaatu was salaam adalah rasulullaah, dan kenyataan bahwa Al Qur’an adalah Kalamullaah. Sedangkan hal-hal non empirik, seperti Nama dan Sifat-sifat Allah, makhluq-makhluq ghoib, peristiwa hari kiamat dll, maka tidak bisa terjangkau realitasnya oleh akal. Tapi, keimanan terhadap hal-hal tersebut bisa dicapai dengan adanya dalil naqli yang qoth’i tsubut (sumber penukilannya qoth’i) sekaligus qoth’i dilalah (aspek maknanya qoth’i), yakni seperti Al Qur’an dan hadits mutawatir yang penunjukkan maknanya muhkam.

Tingkat kekuatan pembenaran manusia terhadap sesuatu berbeda-beda tergantung kekuatan bukti yang dia dapatkan. Jika bukti yang dia dapat lemah, maka pembenarannya akan lemah (ihtimal). Kadang bukti yang dia dapat hanya menghasilkan peluang pembenaran yang sama kuat dengan peluang pengingkarannya, sehingga dia tidak bisa menentukan kecenderungan untuk membenarkan atau pun mengingkari (ragu-ragu/syak). Kadang dia mendapatkan bukti yang sangat kuat sehingga menghasilkan pembenaran yang kuat pula (gholabatudz-dzon). Dan kadang bukti datang tanpa membawa kemungkinan salah sedikit pun (Qoth’i), ini yang disebut sebagai bukti yang menghasilkan pembenaran yang pasti (tashdiiqul jazm).

Karena aqidah merupakan permasalahan dasar-dasar agama (ushuluddiin), maka ia haruslah merupakan suatu pembenaran yang bersifat pasti dan tidak mentolelir kemungkinan salah, meski kemungkinan salah itu hanya sebutir debu. Tentu saja demikian, karena atas dasar aqidah itulah kita membangun seluruh pendirian kita, memisahkan antara yang haq dengan yang bathil, membedakan antara keimanan dengan kekufuran, menentukan mana yang kita bela dan mana yang kita lawan (al wala’ wa al bara’). bagaimana mungkin kita akan mendasarkan permasalahan fundamental (ushul) seperti itu kepada asas yang masih mengandung peluang kesalahan -meski hanya kecil. Juga kita semua tahu bahwa aqidah adalah yang wajib diyakini secara penuh. Lantas bagaimana mungkin kita bisa meyakini sesuatu secara penuh jika sesuatu itu tidak diketahui kebenarannya secara pasti?

Dengan demikian, masalah aqidah mau/tidak mau harus merupakan suatu hal yang pasti kebenarannya. Dan untuk memastikan bahwa sesuatu itu memiliki kebenaran yang pasti, kita membutuhkan dalil/bukti yang pasti kebenarannya pula (qoth’i). Mengapa demikian? Sebab pembenaran yang pasti (tashdiiqul jazm) tidak mungkin dihasilkan dari bukti yang tidak pasti. Ini suatu hal yang rasional bahwa bukti yang pasti menghasilkan kepastian, bukti yang bersifat dugaan menghasilkan dugaan, bukti yang lemah menghasilkan ihtimal (sangkaan yang lemah).

Jika sesuatu dalam agama islam telah terbukti benar secara pasti melalui dalil-dalil yang pasti, seperti ke-Esa-an Allah, kerasulan Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Alqur’an adalah Kalamullaah, kedatangan hari akhir dsb, maka diwajibkan atas manusia untuk membenarkannya secara pasti pula. Siapa saja yang masih memiliki keraguan dalam masalah-masalah yang qoth’i, atau mengingkari permasalahan tersebut, dia tidak bisa dikelompokkan sebagai orang yang beriman (baca: kafir). Sebab, menyatakan keraguan dalam perkara yang pasti dalam agama sudah cukup untuk membuat seseorang menjadi kafir. Apalagi mendustakan perkara yang tergolong qoth’i tersebut, jelas kafir. Ini bukan berarti islam menjadikan masalah-masalah itu sebagai doktrin yang dipaksakan kepada pemeluknya. Tidak dikatakan demikian karena apa yang wajib diyakini dalam islam itu memang merupakan realitas yang dapat dibenarkan secara pasti melalui dalil-dalil yang pasti pula. Dalil-dalil itu telah memberi pengetahuan kepada manusia sehingga siapa saja yang ragu atau mendustakannya bisa dikatakan bebal dan mengkhianati akal sehatnya sendiri. Seperti halnya orang yang meragukan atau mengingkari bahwa matahari itu panas, padahal jelas telah datang bukti yang membawa pengetahuan yang pasti bahwa matahari itu memang panas. Tidak ada orang sehat yang seperti itu kecuali orang yang mengkhianati akalnya sendiri seperti Walid bin Mughirah. -Tentu saja ini berlaku untuk orang yang normal.

Nah, masalah-masalah yang datang dari dalil yang qoth’i, tidak mungkin salah, yang wajib diimani (baca: dibenarkan secara pasti), yang kalau meragukan atau mendustakannya akan divonis kafir- inilah yang dimaksud dengan masalah-masalah aqidah (aqooid). Atas dasar itu, pendirian penulis tentang aqidah bisa dikemas dengan redaksi: permasalahan yang wajib dibenarkan secara pasti oleh seorang muslim berdasarkan dalil yang pasti, dan jika seseorang tidak membenarkannya secara pasti maka dia kafir.

Mafhum mukholafah dari definisi aqidah di atas adalah “segala sesuatu yang tidak dituntut untuk dibenarkan secara pasti -karena tidak dudukung oleh dalil yang pasti- dan tidak menyebabkan kekafiran jika diingkari maka tidak dinamakan sebagai perkara aqidah”. Artinya, segala sesuatu yang tidak didukung oleh dalil yang qoth’i maka: tidak wajib bagi manusia untuk membenarkannya-secara-pasti; dan siapa saja yang tidak-membenarkannya-secara-pasti maka dia tidak bisa divonis kafir. Penjelasannya: bagaimana mungkin kita dituntut untuk membenarkan sesuatu dengan pembenaran-yang-pasti sedang sesuatu itu sendiri tidak didukung oleh dalil yang pasti? Dan bagaimana mungkin seseorang divonis kafir hanya karena tidak memastikan sesuatu yang dzonniy (tidak pasti)? Atas dasar itu, aqidah yang wajib diimani (baca: dibenarkan secara pasti), -yang kalau mengingkarinya dianggap kafir- terbatas pada masalah-masalah yang didukung oleh dalil yang qoth’i.

Tapi yang perlu juga dicacat adalah, tidak wajib dibenarkan secara pasti bukan berarti wajib untuk diingkari. Penulis -yakni An Nabhaaniy- tidak bermaksud menyatakan bahwa hadits ahad yang mengandung informasi ghoib harus diingkari. Tidak dibenarkan secara pasti bukan berarti diingkari. Masalah ini akan kita bicarakan pada tempat tersendiri, InsyaaAllaahu ta’ala.

Kenapa Hadits Ahad Tidak Bisa Dijadikan Hujjah Dalam “Masalah-Yang-Wajib-Dibenarkan-Secara-Pasti” (baca : Aqidah)?

Jawabannya adalah: karena pembenaran yang pasti itu menuntut dalil yang pasti pula. Dalil yang pasti adalah dalil yang mendatangkan pengetahuan yang meyakinkan, tidak membawa peluang kesalahan walau sekecil apa pun. Jika kita telah sepakat dengan pendefinisian aqidah di dalam uraian sebelumnya, maka berarti anda setuju bahwa selain dalil yang qoth’i tidak bisa digunakan untuk berhujjah dalam aqidah. Karena aqidah adalah masalah yang wajib dibenarkan secara pasti. Masalahnya sekarang : “apakah hadits ahad itu dalil yang qoth’i atau tidak?”. Jika jawabnya qoth’i, artinya dapat dipastikan bahwa ia dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia digunakan sebagai hujjah dalam aqidah, tapi jika jawabnya tidak qoth’i, maka dia tidak dijadikan hujjah dalam aqidah.

Hadits ahad adalah khobar yang disandarkan kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh rantai perowi yang jumlah rantai itu belum mencapai derajat hadits mutawatir. Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perowi yang menurut adat kebiasaan para rowi itu tidak mungkin bersepakat bohong atau tidak mungkin sama-sama salah dalam periwayatannya.

Para ulama sepakat bahwa hadits yang diriwayatkan secara tawatur dapat menghasilkan ilmu dloruri, yakni dapat dipastikan tanpa ragu sedikit pun bahwa hadits itu memang dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dalam masalah hadits ahad, maka ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa hadits ahad yang shahiih dapat menghasilkan ilmu pasti. Di antara yang menyatakan demikian adalah Ibnu Hazm rahimahullaah. Sebagian lagi menyatakan bahwa hadits ahad tidak dapat menghasilkan ilmu pasti kecuali jika disertai qorinah pendukung. Ibnu Sholah rahimahullaah termasuk kelompok ini, beliau menyatakan bahwa hadits ahad itu dzonniy, tapi jika umat telah sepakat (berijma’) untuk menerima sebuah hadits ahad maka ia berubah menjadi qoth’i. Sebagian lagi menyatakan bahwa hadits ahad paling jauh hanya akan menghasilkan dzon, yaitu pembenaran kuat, dan tidak akan sampai pada derajat qoth’i (menghasilkan ‘ilmu). Pendapat ini disampaikan oleh Al Khotib Al Baghdaadi rahimahullaah dalam Al Kifayah fii ‘ilmir Riwaayah dan An Nawaawi rahimahullaah dalam muqodimah kitab syarah shohih muslim -kedua ulama ini otoritatif ketika bicara mengenai hadits.

Nampaknya, Taqiyuddiin An Nabhaani mengadopsi pendapat terakhir, yang menyatakan bahwa hadits ahad paling jauh hanya menghasilkan pembenaran kuat (gholabatudz dzon), tidak sampai pada pembenaran pasti. Sebab, jika hadist mutawatir dan hadits ahad sama-sama qoth’i lantas buat apa para ulama membuat definisi khusus untuk hadits mutawatir sebagai “hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah bilangan rawi yang banyak dimana secara kebiasaan mustahil bagi mereka untuk sepakat berbohong mengenai hadits yang mereka riwayatkan”.

Salah satu fungsi definisi adalah sebagai pembatas (mani’) terhadap sesuatu yang didefinisikan agar tampak perbedaannya dengan sesuatu yang lain. Hadits ahad dan hadits mutawatir sama-sama hadits. Tapi kalimat dalam ta’rif hadits mutawatir yang berbunyi “yang diriwayatkan oleh banyak rawi dimana secara kebiasaan mustahil bagi mereka untuk sepakat berbohong mengenai hadits yang mereka riwayatkan” merupakan sekat pembeda yang dibuat oleh para ulama untuk membedakan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad. Dari definisi itu kita bisa tahu bahwa hanya dalam hadits mutawatirlah para ulama memastikan bahwa perowi yang banyak itu mustahil salah maupun berbohong secara bersamaan, tidak dalam hadits ahad. Inilah yang membedakan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad. Dengan demikian jelas, bahwa hadits mutawatir itu qoth’i -pasti dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam- sedang hadits ahad itu tidak qoth’i -maksimal diduga kuat bahwa ia berasal dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Pembenaran kuat ini terwujud setelah hadits-hadits ahad melewati proses penelitian dan terhindar dari sebab-sebab yang melemahkan. Artinya, jika hadits itu shohih maka kemungkinan besar memang itu dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan kemungkinan salah adalah kecil.

Perlu ditambahkan bahwa hadits shohih tidak diterima kecuali jika diriwayatkan oleh orang-orang yang adil. Orang yang adil adalah orang islam yang tidak terkenal suka melakukan perbuatan dosa atau hal-hal yang sia-sia, tidak pernah tertuduh bohong, dan diketahui kehati-hatiannya dalam beramal (wara’). Hadits shohih juga harus diriwayatkan oleh orang-orang yang dlobit, yakni orang yang akurat dalam periwayatan, kuat dalam hafalan dan paham mengenai apa yang dia riwayatkan. Oleh karena itu ulama tidak menerima periwayatan orang yang bodoh, pelupa, pernah gila, sudah tua, orang cacat yang bisa mengganggu tingkat akurasi dalam penukilan -seperti buta dan tuli, atau orang yang periwayatannya kacau -suka berubah-ubah dalam redaksi. Jika dua kualitas itu -adil dan dlobit- terkumpul pada diri seorang rawi, maka orang itu secara umum disebut tsiqoh -terpercaya. Demikianlah, hadits shohih harus diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlobit dengan jalur yang bersambung dari satu generasi (thobaqot) ke generasi berikutnya sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam.

Akan tetapi, dengan syarat tersebut para ulama terkadang masih menemukan hadits yang saling berlawanan sehingga mengharuskan mereka untuk melakukan proses tarjih -menguatkan dan memilih salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Untuk bisa melakukan tarjih terhadap hadits yang secara dzohir bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka para ulama membuat tingkatan-tingkatan kualitas perowi dan juga kualitas jalurnya. Jika ada dua hadits yang bertentangan, maka mereka akan memilih hadits yang diriwayatkan oleh jalur yang terdiri dari orang-orang yang lebih kuat, baik dari segi keadilan maupun dari segi kedlobitan. Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullaahu mengklasifikasikan kualitas ketsiqohan para rowi dalam dua belas kelas.

Hanya saja, para ulama sering berbeda pendapat mengenai kualitas seorang rawi. Kadang ulama berpendapat bahwa si A lebih kuat dari B, sedang yang lain menyatakan sebaliknya. Karena itu mereka juga tidak senada mengenai jalur periwayatan mana yang paling kuat. Dalam hal ini ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda. Hal itu mempengaruhi proses pentarjihan yang mereka lakukan. Sebagian ulama menguatkan hadits yang diriwayatkan melalui jalur A dari pada hadits yang diriwayatkan melalui jalur B. Tapi sebagian lain justru memiliki pendapat yang sebaliknya. Bahkan ada hadits yang disebut mudlthorib, yaitu dua hadits yang didapat dari dua jalur yang sama-sama kuat tapi bertentangan satu sama lain dengan pertentangan yang tidak bisa dikompromikan atau pun ditarjih. Yang disebut sama-sama kuat adalah kondisi dimana para ulama sudah kehabisan akal untuk mengkompromikan atau untuk memilih salah satunya, karena memang pertentangannya total dan kualitasnya benar-benar sama.

Yang sebenarnya ingin saya tunjukkan adalah, bahwa ternyata metode yang digunakan untuk menerima hadits dengan menetapkan syarat adil dan dlobit saja belum bisa menjamin kepastian bahwa hadits itu benar-benar dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa keraguan sebutir debu pun. Buktinya, sebuah hadits yang diriwayatkan secara bersambung sampai nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam (muttashil-marfu’) oleh para rawi yang seluruhnya adil dan dlobit masih bisa bertentangan dengan hadits lain yang juga diriwayatkan secara muttashil oleh orang-orang yang juga tsiqoh. Jika periwayatan dari orang-orang yang adil dan dlobit itu sudah 100 % menjamin kebenaran sebuah hadits, seharusnya tidak mungkin terjadi pertentangan antara dua hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqoh. Sebab, dua hal yang bertentangan tidak mungkin sama-sama benar. Salah satu dari keduanya dapat dipastikan salah atau palsu. Contohnya adalah hadits-hadits yang bertentangan mengenai cara menempatkan tangan saat turun untuk sujud dan bangkit dari sujud. Kita berani memastikan salah satu pihak dari hadits-hadits yang bertentangan itu pasti salah, meskipun keduanya diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlobit. Hanya saja kita tidak bisa mematikan mana yang salah.

Artinya masih ada celah dalam metode. Syarat adil dan dlobit masih bisa kebobolan sehingga meloloskan hadits yang salah. Ibarat filter, jaringnya masih kurang rapat, meskipun sudah begitu ketat. Dengan demikian jelas, hadits yang diterima oleh para ulama secara ahad dari orang-orang yang tsiqoh dan musnad (muttashil-marfu’) belum menjamin bahwa hadits itu qoth’i 100% dari rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Kita hanya bisa mengatakan, jika sebuah hadits diriwayatkan secara ahad, oleh para rawi yang adil dan dlobit secara bersambung, dan tidak ada pertentangan dengan riwayat lain, maka hadits itu kita duga kuat benar-benar dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kita jadikan hujjah dalam berarmal. Tapi tetap saja dia dzon, seperti yang ditegaskan An Nawawi rahimahullah dalam muqodimah syarh muslim. (lihat, Syarah Shohih Muslim, Jilid I, Penerbit Mustaqim)

Karena hadits ahad itu tidak qoth’i dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits ahad tidak bisa menghasilkan pembenaran yang pasti. Padahal, aqidah yang dibicarakan oleh Taqiyuddiin adalah hal-hal yang wajib (harus) dibenarkan secara pasti dan siapa yang tidak membenarkannya secara pasti maka dia kafir. Sekali lagi kita bertanya: bagaimana mungkin kita bisa mewajibkan manusia untuk membenarkan secara pasti terhadap apa yang datang dari hadits ahad -sedang hadits ahad sendiri bersifat dzonniy? Dan bagaimana mungkin kita bisa mengkafirkan seseorang karena dia tidak memberi pembenaran secara pasti terhadap sesuatu yang datang dari dalil dzonniy -yang hanya mengahsilkan dugaan kuat? Wallaahu a’lamu bish showaab

Kesalahpahaman Yang Perlu Ditepis

1.Tidak Dijadikan Hujjah Dalam “Perkara Yang Wajib Dibenarkan Secara Pasti” (baca: aqidah) Bukan Berarti Diingkari!

Setelah uraian di atas yang panjang-lebar, kami ingin memberi klarifikasi bahwa tidak menjadikan hadits ahad dalam perkara Aqidah bukan berarti menolak atau mengingkari kandungan makna yang dibawa oleh hadits ahad. Yang benar adalah bahwa hadits ahad tetap harus dibenarkan sesuai dengan kapasitas dalil yang datang kepada kita.

Tapi ada sementara orang yang mengatakan “bukankah mengatakan bahwa iman tidak dibangun berdasarkan hadits ahad di satu sisi dan mengatakan hadits ahad tetap harus dibenarkan pada sisi yang lain merupakan pernyataan yang bodoh dan kontradiktif? Seperti seseorang yang mengatakan bahwa “kita harus turun” tapi pada saat bersamaan ia juga mengatakan “kita juga harus naik”, apakah itu bukan mustahil namanya? Bagaimana mungkin seseorang bisa “tidak mengimani” tapi sekaligus “membenarkan”? Bagaimana mungkin hadits ahad itu “ditolak” dalam aqidah tapi pada saat yang sama dia juga dibenarkan?”. Itulah perkataan mereka.

Jawab: Sesungguhnya pernyataan ini hanya muncul pada orang-orang yang tidak mau menelaah pendapat kami dengan cermat dan sabar. Jika dia mengikuti uraian kami dengan baik tentang apa yang kami maksud dengan tasqiiqul jazm (pembenaran pasti), imaan dan aqiidah, niscaya pertanyaan seperti itu tidak akan muncul.

Berkali-kali kami tegaskan bahwa yang kami maksud dengan iman adalah pembenaran yang pasti-tashdiiqul jazm, yang tidak mengandung keraguan sebutir debu pun. Tashdiiqul jazm itu bukan sembarang pembenaran, ia adalah salah satu jenis pembenaran di antara pembenaran-pembenaran yang ada. Lebih tepatnya adalah tingkat pembenaran yang paling tinggi dan sempurna. Pembenaran yang pasti hanya bisa dicapai dengan adanya dalil yang pasti (qoth’i). Kok bisa? Ya, karena bagaimana mungkin dalil yang tidak pasti akan menghasilkan pembenaran yang pasti? Jadi kesimpulannya, karena iman itu adalah tashdiiqul jazm, maka iman itu bukan sembarang pembenaran, tapi ia adalah pembenaran berdasarkan dalil yang pasti. Pembenaran yang tidak berlandaskan dalil yang bersifat pasti tidak bisa dikatakan iman. Jadi tidak mengimani artinya adalah tidak membenarkannya secara pasti, bukan tidak membenarkannya sama sekali.

Jika dalil-dalil syara’ yang qoth’i (wurut/tsubut) menunjukkan kebenaran sesuatu secara pasti (dalam dilalahnya), maka wajib bagi siapa saja untuk membenarkannya secara pasti (baca = mengimani). Masalah yang wajib dibenarkan secara pasti itu yang disebut sebagai masalah-masalah aqidah. Ada perlakuan khusus bagi orang yang tidak membenarkan secara pasti terhadap masalah aqidah, yakni dia akan dikatakan kafir. Jika dia sebelumnya seorang muslim, maka saat dia tidak-membenarkan-secara-pasti salah satu masalah di antara masalah-masalah yang didalili dengan dalil yang qoth’i, maka dia akan dianggap murtad. Contohnya seperti tidak membenarkan secara pasti bahwa Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul terakhir, maka dia murtad.

Berbeda dengan hal-hal yang tidak datang dari dalil-dalil yang qoth’i, seperti hadits tsumma takuunu khilaafatan ‘alaa minhaajin nubuwwah -kemudian akan ada khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian. Hadits ini hadits ahad yang aspek tsubutnya (sumber pengambilan) dzonniy. Kita membenarkan dan tidak mengingkari isi hadits ini, yaitu bahwa besok akan ada khilafah yang berdiri di atas manhaj kenabian. Kami sering menggunakan hadits ini untuk menyemangati kaum muslimin agar mereka terlibat dalam usaha mengembalikan khilafah. Akan tetapi, karena hadits ini hadits ahad, maka kita tidak bisa membenarkannya dengan pembenaran yang pasti. Dengan demikian masalah akan adanya khilafah ini tidak bisa dimasukkan ke dalam perkara aqidah, dimana kaum muslimin tidak dituntut untuk membenarkannya secara pasti dan siapa saja yang menolaknya maka tidak kita anggap kafir. Maka, siapa saja yang meragukan akan adanya khilafah di masa datang tidak jatuh dalam kekafiran. Hanya saja, dia jatuh pada kesalahan. Yakni menolak sesuatu yang kebenarannya diduga kuat.

Penjelasannya begini: Kami telah tegaskan pendirian kami tentang hadits ahad, bahwa ia bersifat dzonniy -dugaan kuat. Maka dia tidak bisa menghasilkan pembenaran yang pasti. Akan tetapi adalah sebuah kesalahan jika kita mengingkari apa yang dibawa oleh hadits ahad. Mengingkari apa yang telah terbukti kuat kebenarannya -walau pun tidak 100%- adalah sebuah kebodohan yang jelas. Sebab yang disebut dugaan kuat adalah kecenderungan kuat ke arah pembenaran dari pada ke arah pengingkaran. Itu artinya lebih mudah menerima dari pada menolaknya, dan lebih mudah membenarkannya dari pada mendustakannya. Lebih dari itu, sesuatu yang didasarkan pada dalil yang tidak sampai derajat pasti bukan berarti pasti ketiadaannya. Sebab dibutuhkan dalil pengingkaran yang qoth’i untuk memastikan ketiadaan sesuatu yang telah diduga kuat keberadaannya. Sebagai ilustrasi, kembalinya khilafah adalah sesuatu yang tidak pasti/qoth’i, tidak bisa dibenarkan secara jazm, dia hanya gholabatudz-dzon-kepercayaan yang kuat. Akan tetapi tidak bisa dikatakan bahwa karena informasi kembali berdirinya khilafah itu tidak qoth’i maka disimpulkan bahwa khilafah itu tidak akan pernah berdiri. Kesimpulan ini justru merupakan keyakinan yang tidak berdasarkan dalil sama sekali. Contoh lain, pertanyaan dalam kubur didasarkan pada hadits ahad, dan dia tidak qoth’i. Tapi seseorang tidak bisa sama sekali mengingkari adanya pertanyaan dalam kubur hanya dengan alasan bahwa dalil tentang pertanyaan dalam kubur itu tidak qoth’i. Ini salah. Sebab jika seseorang mempercayai pertanyaan kubur sebagai pembenaran yang kuat -meski tidak sampai jazm-, maka pembenaran itu merupakan suatu tindakan yang berdasarkan dalil dzonniy yang memang menghasilkan pembenaran yang kuat (gholabatudz-dzon). Tapi seseorang yang memastikan bahwa pertanyaan dalam kubur itu tidak ada -hanya dengan alasan dalilnya tidak qoth’i- maka orang ini justru tidak mendasarkan keyakinannya pada suatu dalil pun. Orang yang mengingkari apa yang didasarkan pada hadits ahad yang shohih tanpa dalil adalah orang yang salah dan dia berdosa karena kesalahannya itu. Kecuali jika pengingkarannya itu didasarkan pada suatu dalil yang lebih kuat (seperti hadits yang lebih shohih atau mutawatir).

Maka Masalah turunya Isa Al Masih ‘alaihis salam, munculnya Dajjal, Imam Mahdi, berdirinya khilafah kembali, pertanyaan dalam kubur, dan lain-lain, adalah masalah-masalah yang didasarkan pada khobar ahad, maka kami membenarkannya sesuai kualitas dalil yang datang kepada kita. Hanya saja masalah-masalah itu tidak termasuk perkara yang wajib untuk “dibenarkan-dengan-pembenaran-yang-pasti”, dimana siapa saja yang ragu atau mendustakannya tidak bisa dihukumi murtad. Mengapa demikian? Karena memang tidak ada jalan untuk membenarkannya dengan pembenaran yang pasti. Demikianlah, sekarang apakah pernyataan “kami membenarkan apa yang dibawa oleh hadits ahad, tapi kami tidak menganggapnya sebagai perkara keimanan” masih terlihat kontradiktif? wa billaahit taufiq.

2. Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Hujjah Dalam Aqidah Bukan Berarti Menentang Apa Yang Disabdakan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam

Perkataan, perbuatan dan taqriir Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hujjah dalam aqidah dan amal perbuatan. Ini adalah masalah qoth’i, ma’luumun minaddiini bidhorurah -suatu hal yang jelas-jelas jelas dalam agama islam. Perkataan, perbuatan dan taqriir Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam itulah yang diistilahkan sebagai as-sunah dalam disiplin ilmu ushul. Menolak as-sunah secara umum sebagai hujjah dalam agama, baik dalam masalah ushul mau pun furu’ merupakan kekafiran. Sebab banyak ayat dalam Al Qur’an Al Kariim yang menegaskan dengan penunjukkan yang qoth’i bahwa As-sunah juga merupakan wahyu. Disamping itu, Al Qur’an juga memerintahkan kita secara tegas untuk mentaati, meneladani dan berhukum kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam -maksudnya berhukum kepada risalah yang beliau bawa. Oleh karena itu, pengakuan atas keharusan mengambil as sunah sebagai dalil dalam aqidah dan amal merupakan permasalahan i’tiqod. Menolak ini berarti keluar dari islam.

Oleh karena itu, umat islam wajib ber-istidlaal dengan as-sunah, baik dalam perkara aqidah mau pun amal. Taqiyuddiin An Nabhaaniy rahimahullah sudah menegaskan hal itu sebelum beliau memasuki pembahasan masalah berhujjah dengan khobar ahad (lihat bab As-sunnatu daliilun syar’iyyun ka-Al-Qur’aan dan Al Istidlaalu bi As Sunnah dalam Asy-syakhshiyyah juz I). Beliau menjelaskan masalah ini dengan cukup berikut dalil-dalilnya yang qoth’i. Alhamdulillaah perkara ini sangat jelas.

Kemudian jika ada yang menanyakan: kenapa Taqiyuddiin An Nabhaani mengatakan bahwa hadits nabi yang mutawatir itu qoth’i, memberi faedah ilmu, harus dibenarkan secara pasti, sedang hadits nabi yang ahad itu tidak qoth’i, hanya menghasilkan dzon (pembenaran yang tidak sampai pasti), dan tidak boleh dibenarkan secara pasti? Padahal, apakah ada shahabat yang mendengar sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan: “sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar barusan ini qoth’i, ia harus kita benarkan secara pasti dan harus kita gunakan sebagai dalil aqidah, sedangkan sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar tadi pagi maka itu dzonny, tidak bisa kita gunakan sebagai hujjah untuk perkara yang menuntut kepastian (aqidah)!”. Apakah ada shohabat yang membagi-bagi sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi qothi-dzonniy, kemudian menolak yang dzonniy dalam aqidah seperti yang dilakukan Taqiyuddiin?

Jawabnya: memang benar, jika kita mendengar langsung apa yang disabdakan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka kita harus membenarkan dengan pasti seluruh apa yang beliau sabdakan, jika itu menyangkut perkara aqidah dan hukum syara’. Sabda Nabi yang kita dengar dalam aqidah dan hukum itu merupakan wahyu dari Allah, bukan ijtihad beliau sendiri. Sehingga semuanya pasti benar, mendustakannya adalah kafir kepada kerasulan Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dengan begitu sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar secara langsung itu tidak dibagi-bagi menjadi qoth’i dan dzonniy. Tidak juga dibagi menjadi dlo’if, hasan dan shohih. Tidak pula menjadi ghorib, ‘aziz, mustafidl dan mutawatir. Tidak ada yang áliy tidak ada yang nazil. Tidak ada pula yang berta’arudl (bertentangan) sehingga harus ada yang rajih (dipilih) dan yang marjuh (dikalahkan). Tidak ada yang muttashil, munqothi’, mu’allaq, maupun mursal. Tidak seorang shohabat pun yang mendengar sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam secara langsung membagi-bagi sunah menjadi banyak macam seperti itu.

Tapi kenapa para ulama membagi-bagi hadits yang mereka dengar dari para guru mereka menjadi bermacam-macam? Kemudian mereka menolak hadits yang mereka anggap maudlu’, munkar, syadz, mudlthorob, munqothi’, mu’allaq, mu’allal, dan jenis-jenis hadits dlo’if yang lain? Hal itu telah kita ketahui bersama. Lantas kenapa tidak ditanyakan kepada para ulama itu: “kenapa kalian menolak sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam?”.

Jawabnya kita sudah tahu, bahwa mengimani sunah sebagai hujjah itu berbeda dengan mengambil as sunah dari orang yang meriwayatkannya. Para ulama tidak mendengar sunah langsung dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mendengarnya dari orang lain, yang mana orang itu juga mendengarnya dari orang lain. Maka mereka menyeleksi mana orang-orang yang pantas diterima periwayatannya dan mana yang tidak dengan metode yang ketat. Dengan begitu, mereka mengambil sebagian hadits yang mereka anggap kuat dan menolak yang dianggap lemah. Yang mereka terima pun ada yang tergolong hasan, dan ada yang shohih. Hadits shohih lebih kuat dari hadits hasan. Hadits dari keenam kitab induk lebih kuat dari hadits-hadits yang lain. Hadits shohih yang diriwayatkan bersama antara Al Bukhori dan Muslim lebih kuat dari semua hadits shohih yang bukan diriwayatkan oleh keduanya. Hadits shohih dari Al Bukhori lebih kuat dari hadits Muslim. Lebih dari itu, semua hadits ahad yang shohih tidak lebih kuat dari hadits mutawaatir.

Begitulah, kekuatan hadits itu bertingkat-tingkat. Jika hadits ahad itu semuanya qoth’i, niscaya dia tidak bertingkat-tingkat. Dan jika dia qoth’i, niscaya dia tidak lebih lemah dari hadits mutawaatir. Mana ada sesuatu yang telah qoth’i bisa dianggap lebih lemah dari yang lain? Dan ingat, yang dianggap memiliki kelemahan bukanlah as sunah, melainkan periwayat, atau metode periwayatan. wallaahu a’lam

3. Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Hujjah Dalam Aqidah Bukan Berarti Menentang Orang Yang Meriwayatkannya

Ada orang yang bertanya: “anda tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam aqidah, padahal anda ini bukan ahli hadits. Sedangkan Imam Al Bukhori yang jelas jauh lebih tahu tentang hadits dari pada anda, telah mencantumkan hadits-hadits yang tidak anda pakai dalam aqidah itu. Apakah anda merasa bahwa diri anda lebih paham dari pada Imam Al Bukhori?”.

Maka jawabnya tidak. Kami tidak lebih alim dari Imam Besar itu. Tapi kami hanya mengatakan bahwa apa yang mereka riwayatkan secara ahad tidak qoth’i, tidak bisa dipastikan bahwa nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam memang mengatakan seperti apa yang beliau terima. Tapi kami juga tidak mendustakan apa yang beliau terima. Dengan metode yang beliau gunakan, hadits yang didapat maksimal menghasilkan gholabatudz-dzon, yakni kearah pembenaran yang kuat, kecuali yang mutawaatir maka dia qoth’i.

Kami berpendapat beliau tidak menyatakan bahwa apa yang beliau riwayatkan adalah 100% benar dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Pernyataan seperti ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad -menurut salah satu dari dua riwayat (lihat buku Al Qorodlowi: Sunah Nabi Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Gema Insani Press).

Di samping itu, kebanyakan para pemilik kitab hadits belum melakukan istidlaal dengan hadits-hadits yang mereka riwayatkan. Mereka hanya menyajikan hadits yang mereka anggap shohih dengan apa adanya tanpa syarah dan tanpa menunjukkan aspek pendalilannya. Mereka belum berhujjah dengan hadits-hadits itu untuk menunjukkan sikap mereka dalam masalah aqidah maupun hukum.

Disamping itu, kami tidak berpendapat bahwa meriwayatkan hadits ahad yang mengandung aspek aqidah itu tidak boleh (yang biasanya berupa khobar ghoib). Boleh-boleh saja meriwayatkan hadits tentang Dajjal, Imam Mahdi, atau turunya Isa ‘alaihis salam. Yang tidak bisa dilakukan adalah menjadikan masalah Dajjal ini sebagai bagian dari masalah yang harus dibenarkan secara pasti, sehingga menganggap kafir siapa saja yang meragukannya. Padahal, dalilnya hadits ahad, yang hanya bisa dibenarkan dengan pembenaran yang kuat tapi tidak sampai pasti. Tapi juga tidak boleh mengingkarinya.

Di samping itu, jika hadits ahad yang mengandung masalah aqidah itu tidak boleh diriwayatkan, maka tidak akan pernah ada hadits aqidah yang mutawaatir, seperti tentang adanya syafaat. Sebab hadits mutawaatir pada hakekatnya tersusun dari hadits ahad, yang diriwayatkan dari orang ke orang. Hanya saja riwayat-riwayat yang masing-masing ahad itu jumlahnya banyak sehingga tidak mungkin perowinya sepakat berbohong atau jatuh pada kesalahan yang sama. Wallaahu Al muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq

Shollallaahu ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa ash-haabihi wa sallam

walhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin

Syarat Dan Kaidah Berdakwah kepada Aqidah Salafush Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Syarat Dan Kaidah Berdakwah kepada Aqidah Salafush Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa dakwah kepada aqidah Salafush Shalih tidak akan teralisasi kecuali dengan tiga syarat :

Syarat Dan Kaidah Berdakwah kepada Aqidah Salafush Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa dakwah kepada aqidah Salafush Shalih tidak akan teralisasi kecuali dengan tiga syarat :

Pertama : Aqidah yang benar

Selamat aqidahnya. Maksudnya, hendaklah kita ber’aqidah sebagaimana aqidah salaf tentang tauhid Rubuwiyah, Uluhiyyah, Asma’ dan Shifat, serta semua yang berkaitan dengan masalah aqidah dan keimanan.

Kedua : Manhaj yang benar

Yaitu memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, mengikuti prinsip dan kaidah yang telah ditetapkan.

Ketiga : Pengalaman yang benar

Seorang yang berdakwah, mengajak ummat kepada Islam yang benar, maka ia harus beramal dengan benar yaitu beramal semata-mata ikhlas karena Allah dan ittiba’(mengikuti) contoh Rasulullah saw, tidak mengadakan bid’ah baik dalam I’tiqad (keyakinan), perbuatan atau perkataan.

Sesungguhnya dakwah ke jalan Allah Ta’ala merupakan amal yang paling mulia dan ibadah yang paling tinggi serta merupakan kekhususan dari para utusan Allah swt dan tugas dari para wali (Allah) dan orang-orang yang shalih yang paling istimewa. Allah Ta’ala berfirman :

“Siapakah yang paling baik perkataanya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata : “Sesungguhnya saya termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat :33).

Rasulullah saw mengajarkan kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita mengemban dakwah ini kepada manusia, bagaimana metode menyampaikannya. Di dalam sejarah peri kehidupan beliau saw banyak pelajaran yang dapat kita ambil bagi orang yang menghendakinya.

Maka wajiblah bagi para juru dakwah dalam menyerukan aqidah Salaf agar mengikuti manhaj Nabi saw dalam berdakwah. Tidak diragukan lagi bahwa didalam manhaj beliau saw terdapat keterangan dan penjelasan yang benar tentang ushub (metode) berdakwah kepada Allah, sehingga mereka tidak membutuhkan lagi metode-metode bid’ah yang diada-adakan oleh sebagian manusia. Yang menyeslisihi manhaj dan peri kehidupan beliau saw.

Oleh karena itu, wajib bagi para juru dakwah untuk menyeru ke jalan Allah Ta’ala seperti yang telah dilakukan generasi Salafush Shalih dengan memperhatikan perbedaan waktu dan tempat.

Berangkat dari pemahaman yang benar ini, maka saya berusaha untuk menyebutkan sebagian kaidah dan landasan bagi para juru dakwah, dengan harapan semoga hal ini bermanfaat dalam perbaikan ummat yang kita idamkan :

Kaidah dan Landasan para juru Dakwah

1. Ketahuilah bahwa dakwah kepada Allah Ta’ala itu merupakan suatu jalan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. “Sungguh seseorang yang diberikan hidayat oleh Allah melalui jalan kamu hal itu lebih baik bagimu daripada unta yang merah (pilihan).” (Mutafaq ‘alaihi,) (Sebagaimana hadits yang diriwayatan oleh al-Bukhari no.2942 dan Muslim no. 2406 (Syarah Muslim lin Nawawi (XV/179), cet. Daar Ibnu al-Haitsam) dari Sahabat Sahl bin Sa’ad, dengan lafazh: “Maka demi Allah, sungguh seseorang yang diberikan hidayah oleh Allah melalui dirimu, hal itu lebih baik daripada unta yang merah (harta yang paling berharga) bagimu”) Pahala akan diperoleh hanya dnegan sekedar berdakwah dan tidak terkait dengan respon (obyek dakwah). Juru dakwa tidak dituntut untuk mereaisasikan kemenangan agama Islam karena hal ini adalah urusan Allah dan berada di tangan-Nya. Akan tetapi bagi juru dakwah dituntut untuk mencurahkan kemampuannya dalam berdakwah.

Bagi juru dakwah memperisapkan diri merupakan syarat. Pertolongan Allah merupakan janji. Sedang dakwah merupakan salah satu bentuk dari jihad, terdapat titik temu antara berdakwah dan jihad dalam tujuan dan hasil.

2. Menegaskan dan memperdalam manhaj Salafush Shalih yang tertuang dalam manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang tekenal dengan wasathiyah (pertengahan), syumulliyah (universalitas), I’tidal (moderat) dan jauh di ifrath (berlebihan) dan tafrith (melalaikan).

Landasannya adalah ilmu syar’I yang konsisten terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah yang shalih. Landasan inilah yang memelihara dari ketergelinciran dengan anugerah dari Allah dan memberikan cahaya bagi orang yang bertekad bulat untuk berjalan di atas jalan para Nabi.

3. Berupaya untuk mewujudkan jama’atul Muslimin (jama’ah kaum Muslimin) dan menyatukan kalimat mereka diatas kebenaran, yang bersumber dari manhaj yang menyatakan : “Kalimatut tauhid (Laa Ilaaha Illallaah) merupakan pokok untuk menyatukan brisan.” Dengan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dapat memecah belah kelompok-kelompok Islam pada saat ini seperti tahazzub (membuat partai-partai) yang tercela, yang mencerai beraikan barisan kaum Muslimin bahkan menjauhkan antara hati mereka.

Pemahaman yang benar bagi setiap jama’ah dakwa kepada Allah adalah : Suatu jama’ah dari kaum Muslimin tidak dapta disebut jama’ah kaum Muslimin

4. Loyalitas itu wajib untuk agama bukan untuk para tokoh; karena kebenaran akan kekal sedang para tokoh akan wafat. Kenalilah kebenaran itu niscaya kamu akan mengenal penganutnya.

5. Menyeru untuk saling tolong menolong dan (menyeru) kepada segala sesuatu yang dapat mewujudkannya. Menjahi dari khilaf (perselisihan) dan dari segala sesuatu yang dapat menyebabkan khilaf tersebut. Ohendaknya satu sama lain harus tolong menolong dan nasehat menasehati dalam hal yang kita perselisihkan selama hal tersebut dalam masalah khilafiyah dengan tanpa saling membenci.

Prinsip yang harus ditegakkan diantara kelompok-kelompok Islam adalah : saling bekerja sama dan bersatu. Jika hal tersebut tidak dapat diwujudkan, maka hendaknya saling hidup damai berdampingan; kalau itupun tidak, maka yang keempat adalah kebinasaan,

6. Tidak fanatik kepada jama’ah yang dianutnya. Bersikap menyambut apapun upaya yang terpuji yang telah diberikan oleh orang lain, selama sesuai dengan syari’at lagi jauh dari ifrath dan tarfith.

7. Perselisihan dalam masalah firi’ (cabang-cabang) syari’ah menuntut sikap lapang dada dan dialog, bukan permusuhan dan pembunuhan.

8. Melakukan introspeksi, koreksi yang kontinyu dan evalusi yang berkesinambungan.

9. Belajar adab berselisih pendapat, memperdalam dasar-dasar diskusi dan menyatakan bahwa kedua-duanya adalah penting dan perlu seharusnya dimiliki sarananya.

10. Jauh dari sikap memvonis secara umum dan berhati-hati dalam masalah ini serta tidak adil dalam menghukumi setiap pribadi.

Termasuk keadilan adalah menghukumi berdasarkan makna-makna (yang tersirat) bukan yang tersurat.

11. Membedakan antara tujuan dan sarana; misalkan dakwah adalah tujuan, sedangkan pergerakan, jama’ah dan markas (Islamic Center) dan lain-lain merupakan sarana.

12. Teguh dalam tujuan fleksibel dalam sarana berdakwah sesuai yang diperbolehkan oleh syari’at.

13. Memperhatikan masalah prioritas dan menyusun segala sesuatu secara berurutan sesuai dengan kepentingannya. Jika perlu ada sesuatu masalah yang sekunder, maka harus memperhatikan waktu, tempat dan kondisi yang tepat.

14. Tukar-menukar pengalaman diantara para juru dakwah adalah hal yang penting an membangun diatas pengalaman orang yang mendahului. Seorang juru dakwah hendaknya jangan memulai dair kosong (nol). Bukanlah dia orang pertama yang tampil berkhidmah kepada agama ini dan juga bukan orang yang terakhir. Karena sekali-kali tidak akan ada orang yang tidak perlu nasehat dan petunjuk; atau tidak akan ada orang yang memonopoli seluruh kebenaran dan sebaliknya.

15. Menghormati para ulama ummat yang dikenal dengan konsistensinya terhadap as-Sunnah dan ‘aqidah yang benar, mengambil ilmu darinya, mengormatinya, tidak bersikap sombong padanya, menjaga kehormatannya, tidak meragukan niat baiknya, tidak fanatik kepadanya dan tidak menuduh mereka. Karena setiap orang alim ada benar dan salahnya. Kealahan dari orang laim ter sebut ditolak, tanpa mengurangi keutamaan dan kdudukannya selama dia seorang mujtahid.

16. Berbaik sangka kepada kaum muslimin dan membawa perkataannya kepada pengertian yang terbaik serta menuntuk cacat mereka, tanpa melalaikan untuk memberikan keterangan kepada orang yang bersangkutan.

17. Jika kebaikan seseorang lebih banyak, maka tidak disebut kejelekannya kecuali kalau ada maslahatnya. Jika kejelekannya lebih banyak, maka kebaikannya tidak disebut, karena takut menjadikan rancu perkaranya bagi orang awam.

18. Menggunakan kata-kata yang syar’I karena lebih tepat dan sesuai, dan menjauhi kata-kata asing, dan pelik seperti : musyawarah bukan demokrasi.

19. Sikap yang benar atas madzhab-madzhab fiqih : bahwa ia merupakan kekayaan fiqih yang agung, wajib bagi kita mempelajarinya, mengambil manfaat darinya dan tidak fanatik serta tidak menolaknya secara keseluruhan. Kit ahendaknya menjauhi pendapat yang lemah dan mengambil yang haq dan benar menurut tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih.

20. Menetapkan sikap yang benar terhadap dunia bara dan peradabannya, yaitu dengan mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan empiris mereka sesuai dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan agama kita yang agung ini.

21. Mengakui urgensi musyawarah dalam berdakwah dan keharusan juru dakwah mempelajari tentang fiqih musyawarah.

22. Suri tauladan yang baik. Seorang juru dakwah merupakan cerminan dan contoh hidup dalam misi dakwahannya.

23. Mengikuti metode hikmah dan nasehat yang baik serta menjadikan firman Allah :

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ….” (An-Nahl : 125)

sebagai neraca dalam berdakwah dan hikmah untuk diikuti.

24. Berhias diri dengan kesabaran, karena itu merupakan sifat dari para Nabi dan utusan Allah serta penunjang keberhasilan dalam dakwahnya.

25. Jauh dari tasyaddud (mempersulit) dan berhati-hati dari penyakit tasyaddud dan hasilnya yang negatif. Berbuat kemudahan dan lemah lembut dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syari’at.

26. Seorang muslim selalu mencari kebenaranl dan k eberanian dalam mengatakan kebenaran sangat dibutuhkan dalam berdakwah. Jika kamu lemah untuk mengatakan yang benar maka janganlah mengatakan yang bathil.

27. Berhati-hati terhadap futur (patah semangat) dan hasilnya yang negatif serta tidak lalai dalam mempelajari sebab dan solusinya.

28. Waspada terhadap segala isu (kabar angin) dan menyebarluaskannya serta hal-hal negatif yang ditimbulkannya pada masyarakat Islam.

29. Barometer keistimewaan seseorang adalah takwa dan amal shalih; dan mengenyampingkan segala fanatisme jahiliyah seperti fantisme daerah, keluarga, kelompok maupun jama’ah.

30. Manhaj (metode) yang afdhal dalam berdakwah adalah memulai dengan mengemukakan hakikat Islam yang manhajnya. Bukan mendatangkan syubuhat lalu membatahnya. Kemudian memberikan kepada manusia neraca kebenaran, mengajak mereka pada pokok-pokok agama dan berbicara kepada mereka menurut kemampuan akal pikir mereka. Mengetahui celah untuk memasuki jiwa mereka merupakan pintu masuk untuk memberikan hidayah kepada mereka.

31. Para juru dakwah dan pergerakan Islam hendaknya senantiasa menjaga hubungan dengan Allah Ta’ala, mempersembahkan upaya manusiawi, meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dan meyakini bahwa Allah-lah yang membimbing dan mengarahkan perjalanan dakwah serta Dialah yang akan melimpahkan taufik bagi para da’i. sesungguhnya agama dan segala urusan ini adalah milik Allah Ta’ala.

Itulah beberapa kaidah dan manfaat yang merupakan buah pikiran dari pengalaman kebanyakan para ulama dan juru dakwah.

Hendaknya kita ketahui dengan yakin bahwa para juru dakwah seandainya mereka mengerti kaidah-kaidah (aturan-aturan) ini dan mengamalkannya, pasti mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak dalam perjalanan dakwah.

Hendaknya seluruh juru dakwah mengetahui bahwa tidak ada keberhsailan dalam dakwahnya kecuali dengan menjalin hubungan dengan Allah Ta’ala, bertawakkal kepada-Nya dalam segala urusan, memohon Taufiq-Nya, niat yang ikhlash, bersih dari keinginan hawa nafsu dan menjadikan segala perkara hanya milik Allah Ta’ala.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm.255 – 262.

Wasiat dan Pernyataan Para Imam Ahlus Sunnah Tentang Berittiba’ dan Larangan Berbuat Bid’ah

1. Muadz bin Jabal ra berkata, “Wahai manusia, raihlah ilmu sebelum ilmu tersebut diangkat! Ingatlah bahwa diangkatnya ilmu itu dengan wafatnya ahli ilmu. Hati-hatilah kamu terhadap bid’ah tanaththu’ (melampaui batas). Berpegang teguhlah pada urusan kamu yang terdahulu (berpegang teguhlah pada al-Qur’an dan as-Sunnah).” (Al-Bida’wan Nahyu ‘Anha oleh Ibnu Wadhdhah no.65)

2. Hudzaifah bin al-Yaman ra berkata, “Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Sahabat Rasulullah saw sebagai ibadah, maka janganlah kamu lakukan! Karena generasi pertama itu tidak memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya untuk berpendapat (dalam masalah agama). Bertakwalah kepada Allah wahai para qurra’ (ahlul qira’ah) dan ambillah jalan orang-orang sebelum kami!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah)

3. Abdullah bin Mas’ud ra berkata, “Barangsiapa mengikuti jejak (seseorang) maka ikutilah jejak orang-orang yang telah wafat, mereka adalah para Sahabat Muhammad saw. Mereka adalah sebaik-baik ummat ini, paling baik hatinya, paling dalam ilmunya dan paling sedikit berpura-pura. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya saw dan menyebarkan agamanya, maka berusahalah untuk meniru akhlak dan cara mereka. Karena mereka telah berjalan diatas petunjuk yang lurus. (Dikeluarkan oleh al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah (I/214) dan Ibnu ‘Abdil Baar dalam kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/947 no.1810), tahqiq Abul Asybal Samir az-Zuhairi.)

Dan juga beliau saw, berkata, “Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh bagi kalian telah cukup, berpegang teguhlah pada urusan yang terdahulu (maksudnya al-Qur’an dan as-Sunnah)” (Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/69), al-Lalika –I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/96 no.104), at-Thabrani fil Kabir no.8770, dan Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah no.175).

4. ‘Abdullah bin ‘Umar ra berkata, “Senantiasa manusia berada diatas jalan (yang lurus) selama mereka mengikuti atsar” (Dikeluarkan oleh Imam al-Lalika-I dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.101.

Dan beliau juga berkata, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia mengaggapnya baik” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra (I/180) no.191, Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah no.205 dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah).

5. Sahabat yang mulia Abu Darda’ ra berkata, “Kamu tidak akan tersesat selama kamu mengikuti atsar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.232.

6. Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Seandainya agama itu (berdasarkan) pemikiran, maka pasti bagian bawah sepatu khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Akan tetapi saya melihat Rasulullah saw mengusap bagian atasnya.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab al-Mushannaf dan dengan lafazh yang hampir sama dikeluarkan oleh Abu Dawud no.162, ad-Daraquthni

7. Abdullah bin Amr bin Ash ra berkata, “Tidak ada suatu bid’ah yang dilakukan melainkan bid’ah tersebut semakin bertambah banyak. Dan tidak ada suatu sunnah yang dicabut melainkan sunnah tersebut bertambah jauh.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.227 dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.128.)

8. Dari Abis bin Rabi’ah berkata : “Saya melihat Umar bin al-Khaththab ra mencium Hajar Aswad seraya berkata :“Sesungguhnya saya mengetahui bahwa kamu adalah sebuah batu yang tidak dapat memberi mudharat maupun manfaat. Senadainya saya tidak melihat Rasulullah saw meniummu pasti saya tidak menciummu.” (HR. al-Bukhari no.1597 dan Muslim no.1270 (248) dari Sahabat Umar bin al-Khaththab.)

9. Khalifah yang adil ‘Umar bin Abdul Aziz ra berkata, “Berhentilah kamu di mana para Sahabat berhenti (dalam memahami nash), karena mereka berhenti berdasarkan ilmu dan dengan penglihatan yang tajam mereka menahan (diri). Mereka lebih mampu untuk menyingkapnya dan lebih patut dengan keutamaan. Seandainya hal tersebut ada di dalamnya. Jika kamu katakan, ‘Terjadi (suatu bid’ah) setelah mereka. Maka tidak diada-adakan kecuali oleh orang yang menyelisihi petunjuknya dan membeci sunnah. Sungguh mereka telah menyebutkan dalam petunjuk itu apa yang melegakan (dada) dan mereka sudah membicarakannya dengan cukup. Maka apa yang diatas mereka, adalah orang yang melelahkan diri. Dan apa yang dibawahnya, adalah orang meremehkan. Sungguh ada suatu kaum yang meremehkan mereka, lalu mereka menjadi kasar. Dan ada pula yang melebihi batas mereka, maka mereka menjadi berlebih-lebihan. Sungguh para sahabat itu, diantara kedua jalan itu (sikap meremehkan dan berlebih-lebihan), tentu diatas petunjuk yang lurus.” (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Lum’atul I’tiqadil Hadi Ila Sabilir Rasyad yang disyarah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal.41 cet.Maktabah Adhwa-us Salaf, th. 1415 H.

10. Imam al-Auza’i ra berkata, “Hendaklah engakau berpegang dengan atsar orang pendahulu (Salaf) meskipun orang-orang menolakmu dan jauhkanlah dirimu dari pendapat para tokoh meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataan yang mudah, sesungguhnya hal itu akan jelas sedang kamu berada diatas jalan yang lurus. (Dikeluarkan oleh al-Khatib dalam kitab Sarah Ashhabul Hadits. (Imam al-Ajurry dalam as-Syari’ah (I/445) no.127 dishahihkan oleh al-Albani dalam Mukhtashar al-Uluw lil mam adz-Dzahabi hal.138, Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/120) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/1071) no.2077)

11. Ayub as-Sakhtiyani ra berkata, “Tidaklah Ahlul Bid’ah itu bertambah sungguh-sungguh (dalam bid’ahnya), melainkan semakin bertambah pula kejauhannya dari Allah” (Dikeluarkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam al-Bida’wan Nahyu Anha no.70

12. Hasan bin Athiyyah ra berkata, “Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agamanya melainkan tercabut dari sunnah mereka seperti itu pula. (dikeluarkan oleh al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.129.)

13. Muhammad bin Sirin ra berkata, “Orang salaf pernah mengatakan : “Selama seseorang berada diatas atsar, maka pastilah dia diatas jalan (yang lurus). (Dikeluarkan oleh al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiwaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.109 dan Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah no.241.

14. Sufyan ats-Tsauri ra berkata : “Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan dan pelaku kemaksiatan masih mungkin dia untuk bertaubat dari kemaksiatannya sedangkan pelaku bid’ah sulit untuk bertaubat dari bid’ahnya”. (Dikeluarkan oleh al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah dan al-Lalika-I dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.238)

15. Abdullah bin al Mubarak ra berkata, “Hendaknya kamu bersandar pada atsar dan ambillah pendapat yang dapat menjelaskan hadits untukmu.” (Dikeluarkan oleh al-Bahawi dalam kitab sunan al-Kubra)

16. Imam asy-Syafi’i ra berkata, “Semua masalah yang telah saya katakan tetapi bertentangan dengan sunnah, maka saya rujuk saat hidupku dan setelah wafatku.” (Dikeluarkan oleh al Khatib dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih dan tercantum juga dalam Manaaqib asy Syafi’i, (I/473) dan Tawali at-Tas’sis hal.93).

Rabi’ bin Sulaiman berkata : “Imam asy-Syafi’I pada suatu hari meriwayatkan hadits, lalu seseorang berkata kepada beliau : ‘Apakah kamu mengambil hadits ini wahai Abu ‘Abdillah?’ Beliau menjawab : “Bilamana saya meriwayatkan suatu hadits yang shahih dari Rasulullah saw lalu saya tidak mengambilnya, maka saya bersaksi di hadapan kalian bahwa akalku telah hilang” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah dan tercantum juga dalam Adab asy-Syafi’I hal. 67, al-Manaaqib asy-Syafi’i, (I/474) dan Hilyah al-Auliya (IX/106).

17. Dari Nuh al Jaami’ berkata : Saya bertanya kepada Abu Hanifah ra : Apakah yang Anda katakan terhadap perkataan yang dibuat-buat oleh orang-orang, seperti A’radh dan Ajsam” beliau menjawab “Itu adalah perkataan orang-orang ahli filsafat. Berpegang teguhlah pada atsar dan jalan orang salaf. Dan waspadalah terhadap segala sesuatu yang diada-adakan, karena hal tersebut adalah bid’ah” (Dikeluarkan oleh al Khatib dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih. Lihat manhaj Imam asy-Syafi’I fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/75) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Aqill.)

18. Imam Malik bin Anas ra berkata, “Sunnah itu bagaikan bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa mengendarainya niscaya dia selamat. Dan barangsiapa terlambat dari bahtera tersebut pasti dia tenggelam.”

Dan beliau juga berkata, “Seandainya ilmu kalam itu merupakan ilmu, niscaya para sahabat dan Tabi’in berbicara tentang hal itu sebagaimana mereka bicara tentang hukum dan syari’at, akan tetapi ilmu kalam itu bathil yang menujukkan kepada kebathilan.

Dari Ibnu Majisyuun, dia berkata : “Saya mendengar Malik berkata: “Barangsiapa berbuat suatu bid’ah dalam Islam lalu ia menganggapnya sebagai suatu ebaikan, berarti ia telah menyangka bahwa Muhammad saw telah berkhianat terhadap risalah. Karena llah telah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu…” Maka apa-apa yang saat itu tidak merupakan agama, maka pada saat ini juga tidak merupakan agama”

19. Imam Ahmad bin Hanbal ra, Imam Ahlus Sunnah berkata :Pokok Sunnah menurut kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah : Berpegang teguh pada apa yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah saw dan mengikuti mereka serta meninggalkan bid’ah. Segala bid’ah itu adalah sesat.

20. Dari al-Hasan al-Bashri ra berkata : “Seandainya seseorang mendapatkan generasi Salaf yang pertama kemudian dia yang dibangkitkan (dari kuburnya) pada hari ini, dimana orang tersebut tidak mengenal tentang Islam dan beliau shalat saja “Kemudian berkata “Demi Allah, tidaklah yang demikian itu merupakan suatu bentuk keterasingan bagi setiap orang yang hidup dan dia tidak mengetahui tentang generasi Salafush Shalih, Lalu ia melihat orang ahlul bid’ah mengajak kepada bid’ahnya dan melihar orang ahli dunia menyeru kepada dunianya. Lalu orang (yang dalam keterasingan itu) dipelihara oleh Allah dari firnah tersebut. Allah jadikan hatinya rindu kepada Salaush Shalih itu, ia bertanya tentang halan mereka, menapaki jekak mereka, dan mengkuti jalan mereka, maka pasti Allah akan memberikan kepdanya pahala yang besar. Oleh karena itu, jadilah kalian seperti itu inya Allah.

21. Alangkah indahnya ungkapan orang seorang laim yang mengamalkan ilmunya yaitu al Fudhail bin ‘Iyadh ra berkata : “Ikutilah jalan-jalan kebenaran itu,, dan jangan hiraukan walaupun sedikit orang yang mengikutinya ! jauhkanlah dirimu dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah terpesona dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebinasaan!”

22. Abdullah bin Umar ra berkata kepada seorang yang bertanya kepada beliau tentang suatu perkara, lalu orang tersebut berkata : “sesungguhnya ayahmu telah melarangnya. Lalu Abdullah menjawab :“Apakah perintah Rasulullah saw yang lebih berhak untuk diikuti ataukah perintah ayahku?”

Abdullah bin Umar ra Sahabat yang laing keras dalam menentang segala macam bid’ah dan beliau sangat senang dalam mengikuti as-Sunnah. Pada suatu saat beliau mendengar seseorang bersin dan berkata: “Alhamdulillah washaltu wasalmu ala Rasulillah”. Lalu bacalah shalawat Abdullah bin Umar :“Bukan demikian rasulullah saw mengajari kita, akan tetapi beliau bersabda: Jika salah satu diantara kamu bersin, maka pujilah Allah (dengan mengucapkan) : alhamdulillah, dan beliau tidak mengatakan : Lalu bacalah shalwat kepada Rasulullah!”

23. Abdullah bin Abbas ra berkata kepada orang yang menentang sunnah dengan ucapan Abu Bakar dan Umar ra., “Nyaris turun hujan batu dari langit atas kamu; saya berkata kepadamu: Rasulullah saw bersabda sedang kamu berkata (tapi) Abu Bakar dan Umar berkata.

Sungguh benar Abdullah bin Abbas saw dalam mensifati Ahlus Sunnah dimana beliau mengatakan : “Melihat kepada seorang dari Ahlus Sunnah, itu dapat mendorong kepada as-Sunnah dan mencegah dari bid’ah”.

24. Sufyan ats-Tsauri ra berkata : “Jika sampai kepadamu kabar tentang seseorang dibelahan tirumu bumi bahwa dia Ahlus Sunnah, maka kirimkanlah salam kepadanya; karena Ahlus Sunnah itu sedikit jumlahnya.”

25. Ayub as-Sakhtiyani ra berkata, “Sesungguhnya jika saya dikabari tentang kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan aku merasa kehilangan sebagian organ tubuhku.”

26. Ja’far bin Muhammad berkata : “Saya pernah mendengar Qutaibah ra berkata : ‘Jika kamu melihat orang yang mencintai Ahlus Hadits seperti : Yahya bin Said, Abdurrahman bin Madi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih …. Dan lain-lain, maka dialah Ahlus Sunnah. Dan barang siapa menyelisihi mereka, maka ketahuilah sesungguhnya dia adalah mubtadi’ (Ahlul bid’ah).

27. Ibrahim an Nakha’i ra berkata : “Seandainya para sahabat Muhammad saw mengusap kuku, pasti saya tidak membasuhnya; untuk mencari keutamaan dalam mengikuti mereka”.

28. Abdullah bin Mubarak ra berkata : “Ketahuilah wahai saudaraku bahwa kematian seorang Muslim untuk bertemu Allah diatas sunnah pada hari ini merupakan suatu kehormatan, lalu (kita ucapkan) ; Innaa illahi Wainnaa Ilaihi Rajiun’ (sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya), maka kepada Allah-lah kita mengadu atas kesepian diri kita, kepergian saudara, sedikitnya penolong dan munculnya bid’ah. Dan kepada Allah pulalah kita mengadu atas beratnya cobaan yang menimpa pada ummat ini berupa kepergian para ulama dan Ahlus Sunnah serta munculnya bid’ah.”

29. Al-Fudhail bin ‘Iyad ra berkata : “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang dengan mereka Dia menghidupkan negeri, mereka adalah Ashhabus Sunnah.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Lalika-i dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.51)

30. Alangkah benarnya perataan dan sebutan Imam asy-Syafi’I ra terhadap Ahlus Sunnah, seraya berkata : “Jika aku melihat seseorang dari ashhabhl haduts (ahli hadits), maka seakan-akan aku melihat seseorang dari Sahabat Rasulullah saw”

31. Imam Malik bin Anas ra telah meletakkan suatu kaidah yang agung yang meringkas semuayang telah kami sebutkan di atas dari ucapan para imam dalam ungkapannya : “Tidak akan dapat memperbaki generasi akhir dari ummat ini kecuali apa yang telah dapat memperbaiki generasi terdahulu. Maka apa yang pada saat itu bukan merpakan agama, demikian pula tidak dianggap agama pada hari ini.”

Itulah ucapan sebagian para Imam Salafush Shalih dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka adalah orang yang palingsuka memberikan nasehat kepada manusia, yang paling baik bagi ummatnya dan yang paling mengerti dengan kemaslahatan dan petunjuk bagi manusia. Dimana mereka itu berwasiat agar berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya saw, memperingatkan dari perkara yang diada-adakan dan bid’ah dan mengabarkan seperti Nabi saw mengajari mereka bahwa jalan keslamatan adalah dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi saw dan petunjuknya.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm.237 – 251.

Prinsip Kesepuluh Pandangan Ahlus Sunnah terhadap Ahlul Ahwa’ dan Bida’

Termasuk dari prinsip aqidah Salafus Salih, Ahlus Sunnah wal Jamaah:
Bahwa mereka membenci ahlul ahwa’ dan bida’ (orang-orang yang mengikuti keinginan nafsunya dan bid’ah) mereka mengada-ada dalam urusan agama apa yang sebenarnya bukan dari urusan agama. Ahlus Sunah tidak mencintai dan tidak menemani mereka, tidak mendengarkan perkataannya, tidak mengajak duduk bersama dan tidak berdebat, tidak bertukar pikiran dengannya dalam urusan agama. Ahlus Sunah berpandangan bahwa hendaknya menjaga telinganya dari mendengarkan kebathilan-kebathilan mereka; menjelaskan kondisi dan kejahatan mereka dan memperingatkan umat terhadap mereka serta menghimbau mereka agar manusia menjauhi mereka.

Nabi saw bersabda, “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah pada suatu ummat sebelumku melainkan ada dari ummatnya sahabat-sahabat setia dan teman karib baginya yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintanya. Kemudian ummat tersebut akan meninggalkan suatu generasi yang berucap tapi tidak berbuat, dan berbuat yang tidak diperintahkan. Barangsiapa memerangi mereka dengan tanganya, maka dia seorang mukmin. Barangsiapa memerangi mereka dengan lisannya (menasehati), maka dia seorang mukmin. Maka barangsiapa memerangi mereka dengan hatinya (mengingkari), maka dia seorang mukmin. dan tidak ada sebesar biji sawipun dari keimanan setelah (tingkatan) itu.” (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Imam ak Albani). (HR. Muslim no.50 dan Ahmad (I/458) no.4379, dari Sahabat Ibnu Mas’ud)

Nabi saw juga bersabda, “Pada akhir zaman dari ummatku (nanti) akan terjadi (sekelompok) manusia yang akan berbicara kepada kalian apa yang belum pernah kalian maupun bapak-bapak kalian dengar. Maka jauhkanlah dirimu dari mereka.” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.6 dari Abu Hurairah.)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendefinisakan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan setelah Nabi saw, karena menuruti hawa nafsu, dan sesuatu yang baru dalam urusan agama setelah sempurna. Ialah segala urusan urusan agama yang tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan perbuatan tersebut baik dari al-Qur’an ataupun as-Sunnah. Bid’ah juga adalah apa-apa yang baru dalam agama dengan cara menyamakannya dengan syari’at, dengan maksud beribadah dan mendekatakan diri kepada Allah. Oleh karena itu bi’ah sebagai lawan Sunnah. Jadi as-Sunnah itu adalah petunjuk kebenaran sedang bid’ah adalah kesesatan.

Bid’ah menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada dua macam : (1)Syirik dan kufur (2) Maksiat yang menafikan kesempurnaan tauhid. Bid’ah merupakan salah satu sarana syirik, yaitu bermaksud untuk beribadah kepada Allah Ta’ala tetapi bukan dengan jalan yang disyari’atkan oleh-Nya. Setiap sarana mempunyai kesamaan hukum dengan tujuannya. Dan segala sesuatu sarana menuju kepada kesyirikan dalam beribada kepada Allah atau berbuat bid’ah dalam agama, maka harus dicegah. Karena agama Islam sudah sempurna. Allah ta’ala berfirman, “...Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu ...” (Al-Maidah :3)

Sabda Nabi saw., “ Barangsiapa mengada-ngada dalam urusan agama kami yang bukan dari ajaran (Allah dan Rasul-Nya), maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) (HR, Al-Bukhari no.2697 dan Muslim no.1718 (17) dari ‘Aisyah ra)

Nabi saw bersabda, “Barangsiapa siapa mengamalkan suatu amalan yang bukan dari ajaran kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim) (HR. Muslim no.1718 (18) dari ‘Aisyah ra).

Nabi saw bersabda pula, “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dan sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan. Dan setiap yang bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim) (HR. Muslim 867 (43), an-Nisa-i no. 1578 dan Ibnu Majah no.45 dari Jabir bin ‘Abdillah.) (Bid’ah pertama kali yang muncul dalam agama adalah masalah membedakan antara shalat dan zakat. Pengakuan bahwa zakat tidak dibayarkan kecuali kepada Rasulullah saw, lalu Abu Bakar as-Shidiq ra menentang dan melawan serta menghukum mereka sebelum masalahnya bertambah besar. Seandainya Abu Bakar as-Shidiq ra meninggalkan mereka atas hal tersebut, pasti anggapan itu akan menjadi suatu idiologi sampai saat ini. Demikian pula, pada zaman ‘Umar bin al-Khaththab muncul sebagian bid’ah yang kecil, lalu beliau ra memusnahkannya. Pada zaman Utsman bin Aggan terjadi pula awal-awal fitnah yang besar yaitu keluar/membelot dari pemerintahan legagl dengna pedang. Dan bid’ah mereka berakhir dengan meninggalnya beliau ra. Inilah merupakan benih fitnah Khawarij yang sampai pada saat ini bid’ah masih menyebar, lalu datanglah berbagai bid’ah Qadariyyah, Murijah, Rafidhah (Syi’ah), Zindiq, Jahmiyyah, Firqah-firqah Bahiniyyah, kaum yang meningkari Asma’ dan sifat Allah dan bid’ah-bid’ah lainnya. Setiap muncul bid’ah-bid’ah, lalu Ahlus Sunnah selalu menghadangnya. Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berpandangan bahwa bid’ah itu berada dalam satu tingkatan, namun bid’ah itu bertingkat-tingkat (dari yang satu ke yang lainnya). Sebagian ada yang menyebabkan keluar dari agama, ada yang seperti dosa-dosa besar dan sebagian lain digolongkan dosa-dosa kecil. Tetapi semuanya sama-sama mempunyai sifat dhalalah (kesesatan). Jadi, menurut Ahlus Sunnah bid’ah yang kulliyyah (secara keseluruhan) bukan seperti bid’ah yang juz’iyyah (secara parsial); dan yang murakkabah (bertingkat) bukan seperti yang basihah (biasa); serta yang hakikiyah bukan seperti yang idhafiyyah (tambahan) baik pada perbuatan itu sendiri maupun hukumnya. Demikian juga berbeda hukum pelakunya. Dari sinilah maka Ahlus Sunnah tidak menghukumi dengan satu hukuman mutlak terhadap Ahlul Bid’ah, bahkan berlainan hukumnya dari pelaku yang satu ke pelaku yang lainnya menurut bid’ah (yang diperbuat). Orang yang jahil dan yang mena’wil hukumnya tidak seperti orang ‘alim (yang mengetahui) dengan apa yang dia seru. Orang yang ‘Alim lagi mujtahid bukan seperti orang ‘alim yang menyeru dengan kebid’ahannya dan mengikuti hawa nafsunya. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah tidak memperlakukan orang yang berbuat bid’ah dengan sembunyi-sembunyi seperti memperlakukan orang yang berbuat bid’ah dengan terang-terangan atau orang yang mengajak kepadanya karena orang tersebut (yaitu orang yang mengajak kepada bid’ah) bahayanya dapat menularkan kepada orang lain maka harus dicegah, mengingkarinya secara terang-terangan dan tidak diberikan kesempatan baginya serta memberikan hukuman kepadanya dengan sesuatu yang menjerakan dia dari perbuatan tersebut. Inilah hukuman baginya sehingga dia jera dari pebuatan bid’ahnya, karena dia menampakkan kemungkaran maka dia berhak ntuk mendapatkan hukumannya.

Oleh karena itu, Ahlus Sunnah mempunyai sikap yang berbeda dari satu kondisi ke kondisi lain. Ahlus Sunnah berbelas kasih terhadap Ahlul bid’ah yang awam dan muqallid. Mendo’akan mereka agar mendapatkan hidayah, mengharap agar mereka mengikut as-Sunnah dan petunjuk, menjelaskan hal tersebut kepada mereka sehingga mereka bertaubat dan menghukumi mereka secara zhahir serta menyerahkan hal-hal yang tersembunyi kepada Allah Ta’ala jika bid’ahnya tidak menjadikannya kafir.



Tanda-tanda Ahlus Ahwa dan Bid’ah :

Ada beberapa tanda yang nampak pada mereka dan mudah diketahui untuk mengenenal mereka. Allah Ta’ala telah mengabarkan tentang mereka dalam Kitab-Nya, sebagaimana pula Rasulullah saw telah mengabarkan tentang mereka dalam Sunnahnya. Dan yang demikian itu sebagai peringatan bagi ummat dari mereka dan melarang menempuh jalan mereka.

Di antara tanda-tanda mereka adalah :

1. Jahil terhadap tujuan umum sya’iat Islam.

2. Berselisih, berpecah belah dan meninggalkan jama’ah

3. Suka berbanta-bantahan dan bermusuhan.

4. Mengikuti hawa nafsu

5. Mendahulukan akal daripada nash

6. Tidak mengerti as-Sunnah

7. Tenggelam dan berlarut-larut dalam mendalami ayat-ayat yang musyabihat, (ayat-ayat yang masih samar maknanya). (“Maka apabila engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyaabihaat, maka itulah yang dimaksud oleh Allah, maka waspadalah terhadap mereka.” (Hr. Al-Bukhari no. 4547, Muslim no. 2665 dan Abu Dawud no. 4598 dari ‘Aisyah ra)).

8. Menentang as-Sunnah dengan al-Qur’an

9. Berlebihan dalam mengagungkan tokoh-tokoh tertentu.

10. Berlebihan dalam beribadah

11. Menyerupai orang kafir

12. Melontarkan gelar-gelar yang tidak layak/buruk kepada Ahlus Sunnah dan membeci mereka.

13. Membenci dan memusuhi orang-orang yang membawakan sabda-sabda Nabi SAW, serta menghina mereka.

14. Mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka tanpa dalil.

15. Meminta pertolongan kepada para penguasa untuk menghabisi orang-orang yang membawa kebenaran.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpandangan bahwa pokok-pokok bid’ah itu ada empat firqah, yaitu : Rawafidh (Syi’ah), Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah; kemudian berkembang dari setiap golongan menjadi beberapa kelompok, sehingga genap menjadi tujuh puluh dua golongan seperti yang telah disabdakan Nabi SAW (Dari Abu ‘Amir al-Hauzani bin ‘Abdillah bin Luhayyi, dari MU’awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya ia (Mu’awiyyah) pernah dberdiri dihadapan kami, lalu ia bekata : “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah berdiri dihadapan kami, kemudian beliau bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan yang satu golongan akan masuk Surga, yaitu al-Jama’ah.” (HR. Abu Dawud no. 4597, dan lafadz hadits di atas adalah dari Musnadnya (IV/102), al-Hakim, dalam kitab al-Mustadrak (I/128), al-Ajurri, dalam kitab asy-Syari’ah (I/314-315 no. 29), Ibu Abi ‘Asyim, dan Kitaabus Sunnah, no. 1-2).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempunyai upaya yang terpuji sekali dalam membatantah orang-orang Ahlul ahwa’ dan bid’ah di mana Ahlus Sunnah selalu menghadang mereka. Adapun ungkapan mereka terhadap Ahlul bid’ah banyak sekali. Kami akan sebutkan sebagian saja yang mudah :

1. Imam Ahmad bin Sinan al-Qaththan ra, berkata :

“Tidak ada seorang mubtadi’ (yang berbuat bid’ah) di dunia ini melainkan di membenci Ahlul Hadits (Ahlul Sunnah). Jika seseorang berbuat bid’ah maka pasti kemanisan hadits tercabut dari hatinya.” (Dalam kitab al-Tadzkirah oleh Imam an-Nawawi (II/521) dan

dikeluakan juga oleh Syaikhul Islam Abu ‘Utsman an-Shabuni dalam ‘Aqiidatus Salaf Ashhaabil Hadiits, tahqiq Badr bin ‘Abdullah al-Badr, no. 163, hal. 116-117. cet. Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyyah, th. 1415 H.

2. Imam Abu Hatim al-Hanzali ar-Razi ra berkata : “tanda ahlul bid’ah adalah mencela Ahlul Atsar. Tanda orang-orang Zindiq, mereka menamakan Ahlul Atsar dengan sebutan “Hasywiyyah”, mereka ingin mematikan Atsar. Tanda orang-orang Jahmiyyah, mereka menamakan Ahlul Sunnah dengan sebutan “Musyabbihan”. Tanda orang-oranga Qadariyyah, mereka menamakan Ahlus Sunnah dengan sebutan “Mujabbirah”. Tanda orang-orang Murjiah, mereka menamakan Ahlus Sunnah dengan sebut “Mukhalifah”. Dan “Nuqshaniyyah”. Tanda orang-orang Rafidhah, mereka menamakan Ahlus Sunnah dengan sebutan “Nashibah.” Padalah Ahlus Sunnah tidak mempunya nama kecuali nama saja dan mustahil nama-nama tersebut berpadu dalam diri mereka. (Dari Kitaab Ahlis Sunnah wa’ Tiqaadid Diin oleh ar-Razuuu. (Rinuklikan juga dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Lalika-i no.321 dan catatan kaki pada poin no.141 di Kitab Syarhus Sunnah oleh Imam al-Barbahari yang ditahqiq oleh Khalid bin Qasim ar-Radady, hal.116, cet II Daarus Salaf, th.1418 H).

3. Dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hambal ra, “disebutkan ahhaabul hadiits dihadapan Ibnu Qutailah di Makkah, lalu dia berkata : “Ashhabul hadiits (Ahlus Sunnah) adalah kaum yang jahat!’ Maka Imam Ahmad bin Hambal berdiri dan menyincing bajunya sambil berkata “ ‘Zindiq, zindiq, zindiq, sampai beliau masuk rumah.” (dalam kitab, Syarhus Sunnah oleh Imam Abu Muhammad al-Hasan bin Khalaf al-Barbahari. (Lihat pula ‘Aqidatus Salaf Ashhaabil Hadiits oleh Syaikhul Islam Abu Utsman as-Shabuni, Tahqiq Badr bin Abdullah al-Badr, no.164, hal.177.



Allah Ta’ala memelihara Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah dari segala aib yang dinisbatkan kepada mereka. Mereka tidak mempunyai sebutan lain kecuali Ahlus Sunnah yang mulia, jalan yang diridhai, halan yang lurus dan hujjah yang kuat. Allah telah memberikan taufiq kepada mereka untuk mengikuti Kitab-Nya, mencontoh Sunnah Nabi-Nya saw, membuka dada mereka untuk mencintai beliau, mencintai pria Imam dalam agama dan para ulama yang mengamalkan ilmunya. Barangsiapa mencitai suatu kaum maka dia tergolong dari mereka. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw., “Seseorang bersama orang yang dicintainya.” (HR. Al-Bukhari) (HR. Al-Bukhari no.6168, 6169 dan Muslim no.2640 dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud).

Barangsiapa mencintai Rasulullah saw, Sahabatnya ra, Tabi’in, Tabiut Tabi’in dari kalangan ulama yang mendapat petunjuk, ulama syari’ah Ahlul Hadits dan Ahlul Atsar dari tiga generasi pertama dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari ini, maka ketahuilah bahwa dialah Shahibus Sunnah (orang yang berpegang teguh kepada sunnah).

Hukum shalat di belakang Ahlul Bid’ah : Ketahuilah bahwa intisari dari pendapat ulama Ahlus Sunnah dalam permasalahan ini adalah sebagai berikut.

* Bahwa shalat tidak boleh dibelakang orang kafir tulen dan murtad.
* Meninggalkan shalat di belakang orang yang mastur (orang yang tidak diketahui) keadaannya dan orang yang tidak diketahui aqidahnya adalah bid’ah, tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang mengatakan hal itu.
* Pada asalnya dilarang shalat di belakang ahlu bid’ah sebagai celaan atas bid’ahnya dan agar orang lain menjauhinya. Namun jika terjadi shalat tersebut (shalat di belakang ahlu bid’ah) maka tetap sah shalatnya.

Hukum meninggalkan shalat mayyit dan mengucapkan rahimahullahu kepada ahlu bid’ah.

· Sesungguhnya orang yang mati dalam keadaan kafir dari asalnya atau murtad dari agamanya atau dikafirkan karena bid’ahnya dan sudah sampai hujjah kepadanya secara langsung, maka tidak boleh menshalatinya maupun mengucapkan rahimahullah kepadanya, dan ini merupakan ijma’ para ulama.

· Barang siapa meninggal dunia karena bermaksiat atau bercampur dengan bid’ah yang tidak mengeluarkannya dari agama, maka disyari’atkan bagi imam dan orang yang menjadi panutan dari kalangan ahli ilmu untuk tidak menshalatinya sebagai tindakan pencegahan dan peringatan bagi manusia dari perbuatan maksiat dan bid’ahnya. Bukan berarti hal itu diharamkan kepada semua orang, namun hukum menshalati dan mendo’akannya adalah fardhu kifayah; selama dia tidak mati secara kafir dan tidak menjadi orang yang diputuskan sebagai penghuni neraka selama-lamanya.

Beberapa nasehat penting dari para imam salaf dalam memperingatkan Ahlul Bid’ah.

· Amirul Mukmini ‘Umar bin Khaththab ra berkata :

“Akan datang sekelompok manusia yang akan membantah kamu dengan syubhat al-Qur’an, maka bantahlah mereka dengan sunnah. Karena orang-orang yang (berpegang teguh) pada as-Sunnah lebih mengerti tentang Kitabullah. ((1-4) Disebutkan oleh Imam al-Lalika-i dalam kitabnya Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibanah.) (Riwayat ad-Darimi (I/49), asy-Syariah oleh Imam al-Ajurri no.93, 102, al-Ibanah li Ibni Baththah al-Ukbari (I/250-251 no.83-84), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/139 no.202).)

· Dari Abdullah bin Umar bahwa beliau berkata kepada orang yang mengingkari qadar :

“Jika kamu bertemu dengan mereka, maka katakan kepada mereka bahwa Ibnu ‘Umar berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas dari diri darinya; (beliau mengatakan tiga kali)” (Disebutkan oleh al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.1038.)

· Abdullah bin ‘Abbas ra berkata :

“Janganlah kamu bergaul dengan orang-orang Ahlul ahwa’; karena bergaul dengan mereka dapat menjadikan hati sakit” (Disebutkan oleh Ibnu Baththah al-‘Ukbari dalam al-Ibaanah no.371.

· Orang yang alim lagi zuhud yaitu al-Fudhail bin ‘Iyadh ra berkata :

“Janganlah kamu merasa aman dari ahlul bid’ah atas agamamu. Jangan kamu ajak musyawarah dia dalam urusanmu, jangan duduk dengannya ! Barangsiapa yang duduk dengan ahlul bid’ah, maka Allah akan mewariskan kepadanya kebutaan (yaitu pada hatinya).” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya no(VII/103), Ibnu Baththah al-Ukhbari dalam al-Ibanah no. No. 437 dan dikeluarkan oleh al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.264.)

· Imam al-Hasan al-Basri ar berkata :

“Allah Ta’ala enggan memberikan izin untuk bertaubat bagi orang yang senantiasa mengikuti hawa nafsunya.” (Disebutkan oleh al-Lalika-i dalam Syarah Ushu“Allah Ta’ala enggan memberikan izin untuk bertaubat bagi orang yang senantiasa mengikuti hawa nafsunya.” (Disebutkan oleh al-Lalika-i dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.285).

· Imam ‘Abdullah bin al Mubarak ra berkata :

“Ya Allah, janganlah Engakau jadikan Ahlul bid’ah itu (mempunyai) kekuatan/ kekuatan disisiku, sehingga hatiku akan mencintainya!” (Disebutkan oleh al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.255.)

· Amirul Muknini dalam hadits Sufyan ats-Tsauri ra berkata :

“Barangsiapa mendengarkan (perkataan) ahlul bid’ah sedangkan dia mengetahui bahwa ia ahlul bid’ah, maka ishmahnya (keterpeliharaanya dari kesalahan) pasti dicabut dan disandarkan kepada dirinya sendiri.”

· Imam al-Auza’i ra berkata :

“Janganlah kamu beri kesempatan ahlul bid’ah untuk berdebat, karena ia akan menjadikan hatimu penuh keraguan disebabkan fitnahnya.”

· Muhammad Ibnu Sirin ra berkata dengan memberikan peringatan (agar menjauhi) bid’ah.

“Tiada seorangpun yang mengada-adakan suatu bid’ah, lalu ia merujuk kepada sunnah.” (Disebutkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahihnya dan ad-Darimi (I/80 no.208), Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah as-Shughra hal.131 dan as-Suyuti dalam al-Amr bil Ibtida’ hal. 78.)

· Imam Malik bin Anas ra berkata : “Ahlus bid’ah jangan dinikahkan (dengan Ahlus Sunnah) dan juga (Ahlus Sunnah) jangan dinikahkan dengan ahlul bid’ah serta jangan diberi salam!” (Al-Mudawwanatul Kubra karya Imam Malik)

· Imam Asy-Syafi’i ra bahwa beliau melihat ahlul kalam berucap dalam suatu bid’ah lalu beliau berteriak dan seraya berkata :

“Kalian boleh berteman dengan kami baik-baik atau kalau tidak, menjauhkanlah dari dari kami!” (Mukhtasar Kitaab al-Hujjah ‘Ala Taarikil Mahajjah, karya Nasr bin Ibrahim al-Maqdisi. (Dikeluarkan juga oleh al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaud Ahlis Sunnah wal Jama’ah no.304 dan Ibnu Baththah al-Ukbari dalam al-Ibanah no.660).

· Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal ra berkata :

“Sesungguhnya ahlul bid’ah dan ahlul ahwa tidak boleh dimintai pertolongan dalam sesuatu dari urusan kaum Muslimin; karena yang demikian itu madharatnya pada agama lebih besar.” (Manaaqib Imam Ahmad karya Ibnul Jauzi dan dikeluarkan juga oleh Ibnu Abi Ya’la dalam Thabaqaat al-Hanaabilah (I/342). Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’ oleh Dr. Ibrahiim ‘Amir ar-Ruhaili (I/186), cet. Maktabah al-Uluum wal Hikam, th.1422 H.)

· Beliau berkata : “Hindarilah semua bid’ah, dan janganlah kamu bermusyawarah dalam urusan agamamu dengan orang ahlul bid’ah.

· Imam Abdur Rahman bin Mahdi ra berkata : “Sesungguhnya tudaj ada ahlus ahwa’ yang lebih jahat daripada orang yang berfaham jahmiyah; mereka menginginkan untuk mengatakan “Dilangit tidak ada apa-apa” Demi Allah, aku berpendapat agar mereka tidak dikawinkan (dengan ahlus sunnah) dan tidak mewariskan.”

· Imam Abu Qilabah al-Bashri ra berkata :

“Janganlah berteman dengan ahlul ahwa, karena jika kamu tidak masuk ke dalam apa yang mereka masuki; (minimal) mereka akan mengaburkan apa yang kamu ketahui”

· Ayub as-Sakhtiyani ra berkata : “Sesungguhnya ahlul ahwa’ adalah para penganut kesesatan; dan aku melihat tempat kembali mereka kecuali neraka.”

· Abu Yusuf al_Qadhi ra berkata :

“Aku tidak shalat dibelakang seorang jahmi, Rafidhi (Syi’ah) maupun Qadari.”

· Syaikhul Islam Abu Utsman Ismail as-Shabuni ra berkata : “Tanda-tanda Ahlul bid’ah nampak jelas pada orang-orang. Tanda yang paling menonjol adalah mereka sangat memusuhi orang-orang yang membawa hadits-hadits Nabi saw, mengejek mereka; bahkan menamakan mereka, Hasyawiyyah, Jahalah (orang-orang bodoh) . Zhahiriyah, dan Musyabbihah. Ahlul bid’ah berkeyakinan bahwa hadits-hadits Nabi saw adalah jauh dari ilmu. Bahkan yang dianggap ilmu itu adalah apa-apa yang disampaikan syaitan ke dalam diri mereka (yang merupakan) hasil pikirannya yang rusak dan bisikan-bisikan hatinya yang gelap.

· Imam asy-Syafi’i ra telah menjelaskan tentang ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’ dalam ungkapannya :

“Hukum untuk ahli Kalam menurutku adalah mereka harus dicambuk dengan pelepah kurma dan niaikkan ke unta, lalu diring keliling kampung. Dan dikatakan : ‘inilah balasan orang yang meninggal al-Kitab dan as-Sunnah serta mengambil ilmu Kalam.”

· Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin al-Fara al Baghawi ra berkata : “Para sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan ulama Ahlus Sunnah sungguh memusuhi ahlul bid’ah dan meninggalkan mereka.”

· Imam Abu Utsman Ismail as-Shabuni ra telah menukil dalam kitabnya yang berharga : ‘Aqiidatus Salaf Ashaabil Hadits” bahwa Ahlus Sunnah telah sepakat atas wajibnya menekan ahlul bid’ah dan merendahkan mereka, seraya beliau berkata setelah menyebutkan ucapan mereka: “Inilah beberapa pertanyaan yang telah ditetapkan dalam masalah ini; bahwa i’tiqad Ahlus Sunnah secara menyeluruh dan tidak ada persengketaan antara satu dengan yang lain bahkan merupakan ijma’ serta kesepakatan bahwa Ahlul bid’ah harus ditekan, dihinakan, direndahkan, dijauhkan, dideportasi, dijauhkan dari berteman dan berinteraksi dengan mereka; bahkan (hendaknya kita) taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dengan mengesampingkan dan meninggalkan mereka”.



Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 205 – 219.