Jumat, 30 Mei 2008

Prinsip Ketiga: Pandangan Dan Sikap Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Tentang Masalah Takfir (Pengkafiran)

Prinsip Ketiga: Pandangan Dan Sikap Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Tentang Masalah Takfir (Pengkafiran)

Termasuk prinsip ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah:

Bahwa mereka tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin apabila berbuat dosa yang dapat menjadikan kafir kecuali setelah iqamatul hujjah (menegakkan hujjah atau argumentasi) terhadapnya, sehingga orang itu menjadi kafir apabila mengabaikannya, dengan memenuhi berbagai persyaratan, dan tidak ada halangan dan hilangnya syubhat (keraguan) dari orang yang jahil maupun orang yang menakwilkannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa yang demikian itu terjadi dalam perkara-perkara rumit lagi tersembunyi yang memerlukan penelitian dan penjelasan; lain halnya dengan perkara-perkara yang jelas dan nyata, seperti: mengingkari wujudnya Allah, mendustakan Rasulullah SAW meningkari risalahnya yang universal dan kedudukan beliau sebagai penutup para Nabi.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan orang yang dipaksa (untuk kafir), jika hatinya tetap tenang dan tentram dengan keimanannya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum Muslimin karena suatu dosa, walaupun yang diperbuatannya dosa-dosa besar selain dosa syrik. Yakni, mereka tidak memvonis kafir bagi orang yang melakukan dosa besar. Tetapi menghukuminya fasik dan “kurang iman” selama ia tidak menganggap halal perbuatan dosa tersebut, karena Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisaa’: 48).

Allah Ta’ala juga berfirman, “Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampai batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (Az-Zumar: 53).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Tidak mengkafirkan seorang Muslim karena suatu dosa, yang tidak ada suatu dalil pun dari al-Qur-an dan as-Sunnah bahwa hal tersebut termasuk perbuatan kufur. Jika seorang hamba meninggal dunia dalam keadaan seperti ini yakni selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang berbuat suatu dosa, dia kafir, maka perkaranya kembalinya kepada Allah Ta’ala; jika Allah berkehendak pasti dia disiksa; dan jika Dia berkehendak lain pasti diampuni. Lain halnya dengan firqah-firqah yang sesat dimana mereka menghukumi kafir bagi orang yang berbuat dosa besar atau dengan sebutan “manzilah baina manzilatain” (dia bukan Muslim dan juga bukan kafir); sungguh Nabi SAW telah memperingatkan akan hal itu dalam sabdanya, “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai orang kafir!’ maka pasti ungkapan tersebut kembali kepada salah satu diantara dua orang itu, jika benar-benar seperti yang ia ucapkan; dan kalau tidak maka ungkapan tadi akan kembali kepada orang yang mengatakan sendiri.” (Muslim). (HR. Muslim no. 60 dan Ahmad (II/44) dari Sahabat Ibnu ‘ Umar , Shalih. Lihat tahkrij selengkapnya di Silsalatul Ahaditsih Shahiihah oleh Syaikh al- Abani, jilid VI bagian kedua no.2891.

Dan sabdanya pula, “Barang siapa memanggil seorang dengan kekafiran atau dengan ucapan : ‘ Wahai musuh Allah, sedangkan faktanya tidak demikian melinkan akan kembalinya padanya.” (HR. Muslim) (HR. Al – Bukhari dalam al – Adabul Mufrad no. 433 (Shahih al – Adabul Mufrad oleh Syaikh al-Albani no. 336) dan Muslim no. 61 dari Sahabat Abu Dzarr al-Ghifari).

Beliau juga bersabda, “Tiada seseorang melempar (ucapan kepada) orang lain dengan kefasikan maupun kekufuran, melainkan ucapan tersebut pasti kembali kepadanya, jika temannya (yang dicela) itu tidak ada sifat yang demikian.” (HR. Al-Bukhari). (HR. Al-Bukhari no. 6045 dalam kitab shahihnya dan al-Adabul Mufrad no. 432 (Shahih al-Adabul Mufrad oleh Ayaikh al-Albani no. 335) dan Ahmad (V/181) dari Sahabat Abu Dzarr al-Ghifari).

Beliau bersabda, “Barangsiapa menuduh seorang mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya.” (HR. Al-Bukhari). (HR. Al-Bukhari no. 6105 dari Tsabit bin adh-Dhahak).

Beliau bersabda pula, “Jika seseorang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai orang kafir!’ maka pasti ungkapan tersebut kembali kepada salah satu diantara kedua orang itu” (HR. Al-Bukhari). (HR. Al-Bukhari no. 6103 dari Abu Hurairah).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah membedakan antara hukum secara mutlak terhadap ahli bid’ah yang disebabkan kemaksiatan atau kekafiran dengan hukum secara khusus terhadap seorang Muslim yang diyakini keislamannya yang timbul darinya suatu perbuatan bid’ah, bahwa dia adalah orang yang bermaksiat, fasik atau kafir. Maka, Ahlus Sunnah tidak menghukumi orang tersebut sampai dijelaskan kebenaran kepadanya, yaitu dengan cara iqamatul hujjah (menegakkan hujjah atau argumentasi) dan hilangya syubhat (keraguan). Hal ini berlaku dalam permasalahan yang samar (tersembunyi) bukan permasalahan yang sifatnya zhahir (jelas dan nyata). Kemudian Ahlus Sunnah juga tidak mengkafirkan seorang Muslim tertentu kecuali bila benar-benar telah memenuhi persyaratan (Syarat-syarat seseorang bisa dihukum kafir:

1. Mengetahui (dengan jelas)

2. Dilakukan dengan sengaja, dan

3. Tidak ada paksaan

Sedangkan bebas dari segala halangan, yaitu kebaikan dari syarat tersebut di atas:

1. Tidak mengetahui,

2. Tidak sengaja

3. Karena dipaksa

dan bebas dari segala halangan. (“Siapa yang tetap keislamannya secara yakin maka tidak akan hilang dengan suatu yang meragukan.” Atas dasar kaidah ini, para Salafush Shalih berpijak. Maka merekalah yang paling berhati-hati dalam mengkafirkan orang lain. Oleh karena itu, ketika ‘Ali bin Abi Thalib ditanya tentang penduduk Nahrawan: “Apakah mereka telah kafir?” Beliau menjawab, “Mereka menjauh dari kekafiran.” Lalu ditanya lagi: “Apakah mereka itu termasuk orang-orang munafik?” Beliau menjawab: “Kalau orang-orang munafik tidak menyebut (nama) Allah melainkan sedikit, sedang mereka senantiasa menyebut (nama) Allah pagi dan sore. Sesungguhnya mereka adalah saudara kita yang berbuat aniaya kepad akita.” (dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, as-Sunan al-Kubra, juz VIII hal 173).

Penting bagi kita untuk membedakan antara macam dan pribadi tertentu dalam hal pengkafiran. Mengingat tidak semua perbuatan kufur menjadikan pelakunya tertentu disebut kafir. Maka hendaknya seseorang dapat membedakan antara menghukumi perkataan bahwa (perbuatan) itu kafir; dengan menghukumi seorang tertentu bahwa dia kafir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Orang yang menakwilkan (menyelewengkan makna) lagi bodoh dan orang yang berhalangan hukumnya tidak seperti hukum yang berlaku pada orang yang menentang dan durhaka. Bahkan Allah telah menjadikan segala sesuatu itu sesuai dengan ketentuan-Nya.” (Majmuu’ah Rasail wal Masail V/382). Beliau juga mengatakan: “Jika hal ini telah diketahui, maka kekafiran orang tertentu dari orang-orang yang tidak mengerti dan semisalnya; dimana dia dihukumi bahwa ia masuk orang-orang kafir, maka tidak boleh bersikap gegabah dengan menghukuminya kafir kecuali setelah sampai hujjah kepada mereka bahwa mereka telah menyelisihi petunjuk Rasulullah walaupun perkataan mereka itu tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah termasuk kekufuran. Demikianlah pembicaraan dalam mengkafirkan orang-orang tertentu.” (Majmuu’ah Rasail wa Masail (III/348)

Abu Hurairah berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Ada dua orang laki-laki yang saling bersaudara dari kaum Bani Israil. Salah satu diantaranya suka berbuat dosa sedang yang lain ahli ibadah. Disatu saat ahli ibadah itu senantiasa melihat temannya berbuat dosa, ia pun berkata kepadanya: ‘Hentikanlah perbuatan dosa itu!’ Lalu pada suatu hari si ahli ibadah mendapati temannya itu berbuat dosa lagi, maka berkatalah ia kepadanya” ‘Hentikanlah perbuatan dosa itu!’ Lalu orang yang berbuat dosa itu menyanggah: ‘Biarkanlah aku (ini adalah urusanku) dengan Rabb-ku! Apakah kamu diutus untukku sebagai pengintai?’ Maka berkatalah ahli ibadah kepada temannya: ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu! atau Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam Surga!’ Lalu kedua-duanya meninggal dunia dan berkumpul di sisi Rabb Semesta Alam: Dia berfirman kepada ahli ibadah itu,’ apakah kamu mengetahui Aku atau apakah kamu berkuasa dari apa yang berada ditangan-Ku?’ Dan Allah berfirman kepada orang yang berbuat dosa: ‘Pergilah dan masuklah Surga dengan rahmat-Ku!’ sedangkan kepada yang lainnya di berfirman: ‘Masukkanlah orang ini di dalam Neraka!’ Abu Hurairah berkata: ‘Demi jiwaku yang berada di tagan-Nya, sungguh dia telah mengucapkan kata-kata yagn dapat membinasakan dunia dan akhiratnya.’” (Shahih Sunan Abi Dawud oleh al-Albani). (HR. Abu Dawud no. 4091 dari Sahabat Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jaami’ish Shagiir no. 4455).

Kekhufuran dalah lawan kata dari keimanan, hanya saja kekufuran menurut istilah syari’at terdiri dari dua macam kekufuran; jika disebut kekufuran dalam nash, maka terkadang maksudnya adalah kekufuran yang dapat menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, dan terkadang pula yang dimaksud adalah kekufuran yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Yang demikian itu dikarenakan kekhurufan itu mempunyai beberapa cabang sebagaimana keimanan mempunyai beberapa cabang.

Kekufuran itu mempunyai beberapa pokok dan cabang yang berbeda-beda tingkatannya; di antaranya ada yang dapat menyebabkan kekufuran secara pasti dan ada pula yang merupakan bagian dari sifat-sifat orang kafir

Pertama: Kufur Akbar (besar) yang dapat menyebabkan pelakukan keluar dari agama Islam, yang dimakan kufur i’tiqadi.

Yaitu yang membatalkan keimanan ataupun ke-Islaman seseorang dan wajib kekal di dalam Neraka. Hal ini bisa terjadi pada i’tiqad, ucapan dan perbuatan; dan tercakup dalam lima jenis kufur akbar:

1. Kufur takdzib (dusta), yaitu keyakinan bahwa para Rasul, atau menganggap bahwa Rasulullah SAW membawa risalah yang tidak benar, atau menganggap bahwa Allah mengharamkan atau menghalalkan sesuatu, padahal dia tahu anggapannya tersebut telah menyelisih perintah dan larangan Allah.

2. Kufur iba’ (enggan, benci) dan sombong yang diikuti dengan pembenaran, yaitu mengakui risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW merupakan kebenaran dari Rabbnya; tetapi ia menolak untuk mengikutinya karena congkak, sombong dan meremehkan kebenaran dan orang-orang yang diatas kebenaran. Seperti kekufuran Iblis, sesungguhnya ia tidak mengingkari perintah Allah, tetapi karena bersikap enggan dan sombong.

3. Kufur i’radh (berpaling), yaitu berpaling dari Rasulullah SAW dengan pendengarannya dan hatinya; tidak membenarkannya, tidak mendustakannya, tidak menolongnya, tidak menentangnya dan tidak mendengarkannya sama sekali; meninggalkan kebenaran, tidak mempelajarinya dan tidak mengamalkannya serta menjauhkan diri dari berbagai tempat yang disebut-sebut kebenarannya di dalamnya. Maka dia dikategorikan telah kafir dengan jenis kufur i’radh.

4. Kufur nifaq (kemunafikan), yaitu menampakkan secara zhahir bahwa ia mengikuti apa yang dibawa Rasulullah SAW namun ia menolak dan mengingkarinya dalam hati. Maka dialah orang yang menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran. (Nifaq ada dua macam, nifaq i’tiqad dan nifaq amal: Pertama; Nifaq i’tiqadi atau nifaq akbar, yaitu orang yang menyembunyikan kekafiran dalam hatinya dan menampakkan keimanan pada lisan dan anggota tubuhnya. Orang munafiq ini (tempatnya) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka. Seperti orang yang mendustakan semua atau sebagian yang dibawa Rasul, atau bahkan tidak suka dengan kemenangan agama Rasul dan perbuatan kufur lainnya. Kedua; Nifaq ‘amali atau nifaq asghar, yaitu orang yang menampakkan suatu bentuk perbuatan yang berlawanan dengan ketentuan syari’at. Orang munafiq ini tidak keluar dari agama Islam. Seperti, jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari, jika diber amanah berkhianat, jika berselisih berbuat zhalim dan jika membuat perjanjian melanggar janji . sebagaimana dijelaskan dalam hadits. (lihat ciri-ciri infaq tersebut si Shahihul Bukhari no. 33, 34 dan Muslim no. 58,59).

5. Kufur syakk (keraguan), yaitu tidak menyakini dengan kebenaran risalah Nabi dan juga tidak mendustakannya, tetapi ia berada dalam kebimbangan dan ragu-ragu untuk mengikutinya. Semestinya dia yakin bahwa yang dibawa Rasulullah SAW merupakan kebenaran dari Rabb-nya, tiada keraguan sedikitpun didalamnya. Barangsiapa ragu- ragu untuk mengikuti apa yang dibawa Rasulullah SAW untuk beranggapan bahwa kebenaran itu juga ada pada selain yang dibawa Rasulullah SAW, maka sungguh dia dikategorikan telah kafir dengan jenis kufur syakk dan zhan (persangka)

Inilah macam–macam kekufuran yang dapat menjadikan ia kekal dalam Neraka dan melebur semua amal kebaikanya, jika orang tersebut meninggal dalam keadaan seperti itu. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang- orang kafir yakni Ahli kitab dan orang- orang musyrik (akan masuk ke Neraka jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk- buruk makhluk.” (Al – Bayinah : 6)

Dan firman- Nya pula, “..jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang – orang yang merugi.” (QS. Az – Zumar : 65)

Kedua : Kufur Ashgar (kecil) yang tidak menyebabkan keluar dari Islam.

Allah menyebutkan kufur di atas sebagian dosa dengan maksud sebagai larangandan ancaman, karena hal tersebut termsuk dari kekufuran. Dosa sejenis ini termsuk dosa – dosa besar , dan dia berhak mendapat ancaman namun tidak kekal dalam Neraka. Contohnya dalam hal in adalah membunuh sseorang Muslim, bersumpah dengan (menggunakan) nama selain Allah Ta’ala, mencela keturunan, meratapi kematian seorang Mukmin kapada Mukmin lainnya “Wahai orang- orang kafir” dan selainnya.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika ada dua golongan dari seorang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (Al – Hujuraat : 9)

Sabda Nabi saw , “Memaki orang Muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah suatu kekafiran (kafir kecil) .” (Muttafaq ‘alaihi). (HR. Al-Bukhari dalam Shaihnya no. 48 6044, 7076 dan dalam al- adabul Mufrad no. 431(Shahih al- adabul Mufrad no.334 oleh Syaikh al- Abani) serta Muslim no. 64 (116) dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud)

Nabi SAW juga bersabda, “Janganlah kalian kambali menjadi orang- oranng kafir setelah (wafat)ku; di mana sebagian dari kamu membunhuh sebagian lain.” (Muttafaq ‘alahi). (HR.A – Bukhari no.4403, 6166 dan Muslim no.65 dari Sahabat Ibnu ‘Umar ra)

Nabi SAW bersabda lagi, “Barang siapa bersumpah dengan selain (nama) Allah, maka ia telah syirik dan kafir.” (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Syaikh al – Abani). (HR. Abu Dawud no. 3251 tanpa lafadzh diriwayatkan oleh at – Tirmidzi no. 1535, Ahmad (II/34,69,86,87), al- Hakim (I/18, VI/297, al- Baihawqi (X/29) dan Ibnu Hibban (dalam Mawaariduz Zhaam-aan) no. 4358 dari Sahabat Ibnu ‘Umar ra. Disahihkan oleh Syaikh al- Abani dalam irwaa- ul Ghaliil fi Takhrij Ahaadits Manaris Sabiil no. 2561)

Dan Nabi SAW bersabda pula, “Ada dua perbuatan kufur pada manusia (yaitu) mencela keturunan dan meratapi orang mati.” (HR. Muslim). (HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 395 (Shahih al-Adabul Mufrad no. 305 oleh Syaikh al-Albani) dan Muslim no. 67 dari Sahabat Abu Hurairah. Lihat takhrij selengkapnya di Silsilatul Ahadiitsish Shahiihah no. 1896 oleh Syaikh al-Albani.
Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 145 -- 155.

Tidak ada komentar: